Kamis, 23 Februari 2017

I Love Jogja!


Tulisan ini terinspirasi dengan twit-twit dengan hestek #CumadiJogja. Tidak ada yang salah kalau ada yang bilang Jogja itu diciptakan dari bahan kenangan dan angkringan. Kalau boleh menambahkan, Jogja itu juga diciptakan dengan tambahan pengamen dan becak 5 ribuan. :v Selama satu tahun sebelas bulan di Yogyakarta, banyak hal dan pengalaman unik yang aku temui.
Pengalaman-pengalaman itu kadang menggelikan dan bikin senyum-senyum sendiri. Yang jelas, dari semua pengalaman itu, aku sedikit mengerti tipikal masyarakat Jogja dengan segala pesonanya. Kata peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Maka, mengenal budaya dan seluk-beluk Jogja adalah hal yang penting banget bagi perantau sepertiku.


Pentingnya kata “permisi”, “kulo nuwun”, atau “klamit”
Masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, sangat menjunjung tinggi adab dan kesopanan. Hal yang paling sederhana adalah ketika kita berjalan dan melewati orang lain di pinggir jalan, harus mengucapkan kata permisi (bahasa Jawanya kulo nuwun atau klamit). Sebenarnya di setiap daerah pasti diajarkan tata krama ini. Namun, terkadang hal ini dilupakan, terutama di daerah yang tata krama ini mulai luntur.
Di kampung halamanku sendiri, Banjarmasin, frasa yang digunakan adalah “umpat lalu” atau numpang lewat. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan mengucapkan “umpat lalu” mulai tidak dipedulikan oleh anak-anak. Mungkin hal ini karena tidak dibiasakan saja, ya. Selama aku tinggal di Probolinggo yang dominan menggunakan bahasa Madura, juga menggunakan kata “amit” (permisi) ketika melewati seseorang di jalan.

Kebingungan menanyakan alamat
Aku paling buta masalah arah mata angin. Dulu, sewaktu tinggal di Probolinggo, juga menggunakan arah mata angin. Begitu pun di Jogja. Namun, tetap saja aku tidak pahaaam! :D Jadi, kiri dan kananlah senjataku kalau ada yang menanyakan alamat atau aku yang bertanya alamat.
Nah, yang jadi masalah, ketika kita bertanya arah tujuan dengan petunjuk kanan dan kiri, itu membingungkan, saudara! Yang ditanya menjawab “kanan”, padahal maksudnya “kiri”. Pokoknya terbolak-balik.


Naik becak cuma 5 ribu rupiah (asal beli bakpia atau kaos Jogja)
Pernah ke Malioboro dan ditawari tukang becak “Lima ribu aja, Mbak”? Memang benar tarifnya 5 ribu, asalkan kita mau dibawa ke toko oleh-oleh yang menjual bakpia dan kaos Jogja. Pemilik toko bekerja sama dengan tukang becak, jadi tukang becak dapat komisi kalau bisa membawa pembeli ke tokonya. Sebaliknya, jika kita tidak mampir ke toko itu alias tidak beli apa pun, siap-siap ditagih tambahan tarif.

Dua ribu rupiah bisa tuntaskan lapar (untuk sementara).
Kantong kempes, tapi perut perlu diisi? Jangan khawatir, nasi kucing adalah solusi kalau kamu tinggal di Jogja. Aku pernah mengalaminya. Uang sisa recehan, sedang perut kelaparan. Alhasil, sebungkus nasi kucing pun lumayan bisa memenuhi perut.

Beli segelas kopi dua ribu rupiah, tapi duduk berjam-jam sambil nunggu pagi.
Cuma di Jogja, dengan modal dua ribu rupiah bisa numpang duduk (kadang tidur sambil duduk) di angkringan. Kadang karena nunggu jadwal kereta atau nunggu pulang kos karena kemalaman.


Cuma di Jogja, naik bus dari Giwangan ke Jalan Wonosari, ngasih lima ribu, eh dapat kembalian dua ribu.
Kondekturnya baik banget. Tahu banget lagi akhir bulan. Eh, pas naik bus tepat awal bulan malah tidak dikasih kembalian. :D Tergantung kondekturnya sih.

Dari pengamen kelas pok ame-ame sampai pengamen selevel vokalis Metallica, Iwan Fals, dan Ebiet G Ade, ada!
Satu hal yang paling kusuka di Jogja adalah pengamen. Sejam saja nongkrong di Malioboro, kamu bakal melihat aksi berbagai macam pengamen. Pokoknya menghibur banget. AKu suka banget nongkrong di Malioboro sekadar menikmati musik dari pengamen jalanan keren itu.Kalau suaranya bagus banget, aku pasti reques lagu.

Cuma di Jogja, bandara ada di tengah kota.
Bandara di Kalsel itu di pinggiran kota sebelum masuk kota Banjarbaru. Bandara Juanda di pinggiran juga. Bandara Denpasar, Jakarta, Bandung, dan lain-lain juga di pinggiran. Jogja lain sendiri. Bandaranya di tengah kota! Lumayan menguntungkan sih bagiku. Dekat kos. Kalau habis liburan/cuti, bisa berangkat habis Subuh dari Banjarmasin, nyampe Jogja pagi langsung ke kantor. Makanya, rada susah juga nih kalau bandara dipindah ke Kulonprogo. -_- Tapiii, kalau tidak dibangun bandara baru, penerbangan di Jogja bakal tidak efektif seperti biasanya: sering delay.

Naik Trans Jogja 3.500 rupiah bisa keliling Jogja!
Sering teman bertanya, “Dari sini ke sana jauh nggak sih?” Aku cuma bisa menjawab, “Jogja itu kota kecil. Ke mana-mana mah dekat.” :D Naik Trans Jogja saja bisa keliling Jogja selama sejam. :D

Malam hari trotoar berubah jadi tempat wisata kuliner
Siang hari kamu jalan-jalan di Jogja gampang melewati trotoar. Nah, kalau malam hari, trotoar akan dipenuhi penjual makanan. Jogja kayaknya diciptakan dari PKL juga, ya. Pedagang Kaki Lima.


Kalau sudah terhalang lampu merah, siap-siap terhalang di lampu merah selanjutnya. Lampu merah di Jogja lama benar.
Hahaha, ini doa yang sering aku ucapkan dalam hati ketika naik ojek: “Ya Allah, jangan sampai ketemu lampu merah di Wiyoro.” Kalau sampai diadang lampu merah Wiyoro, bakal ketemu lampu merah berikutnya. Kelar! :D

Cuma di Jogja, museum ada di mana-mana
Jogja itu dikenal sebagai kota museum. Jumlah museum di Jogja paling banyak di Indonesia. Museum itu tidak hanya dikelola oleh pemerintah, tapi juga banyak yang dikelola oleh swasta/masyarakat. Museumnya pun macam-macam dan beraneka ragam.


Borobudur katanya wisata Jogja, padahal tempatnya di Magelang
Ingat, ya. Borobudur itu letaknya di Magelang, kabupaten tetangga Jogja. Beda provinsi, lho. Dari Yogyakarta ke Borobudur bisa menempuh jarak selama satu jam.

Festival budaya ada di segala penjuru. Desa wisata ada di mana-mana.
Kapan pun, di mana pun, selalu ada pertunjukan budaya. Aku sendiri sering mantau Twitter @JogjaUpdate atau @infoseni untuk mengetahui event apa saja hari ini atau hari berikutnya. Tinggal di Jogja, nggak pernah hadir di acara budaya? Aih, ke laut aja….


Sejak tinggal di Jogja, aku baru benar-benar mengenal yang namanya hidup bertoleransi.
Inilah indahnya Jogja. Berbagai suku dari Sabang sampai Merauke berbaur di Jogja, tapi budaya Jogja tetap hidup dan lestari. Masyarakat pendatang pung tetap teguh dengan budayanya. Semua masyarakat hidup damai dan mesra tanpa memandang perbedaan suku dan agama. I love Jogja!


Tentunya masih banyak lagi ciri khas Jogja. Nggak bakalan kelar ditulis dalam satu postingan, deh. Ada yang mau menambahkan?


Salam Pojok Jalan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar