Rabu, 11 Mei 2016

Kembali Bermain di Alam

Kita tidak bisa menampik, zaman yang semakin modern membuat anak-anak kehilangan nikmatnya sebuah permainan. Masa kecil aku habiskan di perkotaan. Mamak dan Abah yang asli Hulu Sungai Selatan, sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan, memutuskan merantai ke Kota Banjarmasin.
Namun, saat aku masih kecil, Banjarmasin masih bernuansa desa. Di depan dan belakang rumah masih ada persawahan. Aku dan teman-teman sering mencari haliling (keong sawah). Kalau musim kemarau tiba, sawah itu berubah jadi tanah lapang yang luas. Ada yang bermain bulu tangkis, layang-layang, sepak bola, rumah-rumahan, masak-masakan, dan sebagainya. Kami juga sering bermain ilung atau eceng gondok. Tanaman eceng gondok itu bisa dibuat jadi bahan masak-masakan atau boneka. Biasanya kami memainkannya di pelataran rumah.

Di depan gang ada sungai yang masih mengalir jernih. Anak-anak banyak yang berenang. Karena tidak bisa berenang, aku hanya bermain-main di atas kelotok (perahu mesin). Di samping rumah ada tanah yang ditumbuhi tanaman rumbia, tempat aku dan teman-teman bermain rumah-rumahan. Yang paling sederhana tentunya jalan di gang yang masih tanah murni, tidak berlapis batako. Jadi, setiap sepulang sekolah atau saat liburan, anak-anak pasti ramai bermain kelereng dengan 3 lubang di tanah.
Sejak aku kuliah, suasana seperti itu hilang dari gang tempat aku tinggal. Jalanan sudah berlapis batako, jadi aku tidak lagi melihat anak-anak yang bermain kelereng. Bahkan, aku sangat jarang melihat anak-anak bermain tali, petak umpet, dan sebagainya. Apakah salah jalan? Tentu tidak. Jalanan berlapis batako karena proses peninggian jalan untuk menghindari banjir saat musim hujan. Namun, apakah serta-merta perubahan itu membuat suasana tempat tinggalku jadi sepi gelak tawa anak-anak, bahkan sepi dari pertengkaran khas anak-anak? Aku pikir tidak begitu.
Aku ingat, dulu sering membuat logo yang dicetak di tanah. Bahannya terbuat dari plastik yang dibakar dan dicairkan. Namanya permainan balogo. Ada juga permainan berbahan tutup botol “panta”. Panta di sini adalah minuman semacam limun yang biasanya dijual eceran di warung-warung kecil. Minuman dalam botol kaca itu dituang di plastik yang sudah berisi es. Minumannya murah banget. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi sepertinya atau ada tapi terbatas di kampung-kampung tertentu. Nah, tutup botol itu digepengkan dengan cara dipukul dengan palu. Sekitar puluhan tutup botol disusun di tanah. Cara mainnya, tumpukan tutup botol itu dilempar dengan bola tenis. Ada lagi permainan tumpuk sandal di dalam lingkaran besar, main “yasin”, dan sebagainya.
Sawah di depan rumah sudah berganti dengan bangunan rumah dan jalan tol. Jelas tak ada lagi kulihat anak-anak pulang dengan membawa ember yang berisi haliling atau seplastik kangkung yang dipetik di tepi sawah. Oh, iya, aku dan teman-teman sering memetik kangkung untuk dimasak di rumah. Anak-anak main rumah-rumahan beratap daun rumbia? Duh, itu hanya kenangan masa kecilku saja. Sawah di belakang rumah pun sudah berganti petak demi petak rumah.
Sungai di depan gang bagaimana nasibnya? Yang jelas, tak ada lagi kulihat anak-anak berenang, tak ada lagi kelotok menambat di tepi sungai, tak ada lagi yang mau mandi bahkan sekadar mencuci di sana. Sungainya telah berubah jadi layaknya kali mati atau selokan saja.
Anak-anak sekarang dininabobokan oleh teknologi. Setiap kali aku keluar rumah, selalu aku melihat anak-anak yang memegang handphone. Tak pernah lagi kulihat anak-anak yang bercengkerama di pelataran rumah sekadar bermain bp-an (bongkar pasang kertas), main monopoli, atau dakuan (congklak). Tak pernah lagi kulihat anak-anak “berantem” karena ada salah satu teman yang curang bermain kelereng, lalu orang tuanya pun ikut-ikutan berantem. :D Pemandangan yang kulihat hanya anak-anak yang sibuk nge-game  dengan Hp-nya. Kalaupun ada yang berkumpul, paling juga sibuk dengan gadget masing-masing. Sosialisasi mereka berkurang. Kepekaan mereka terhadap lingkungan juga kurang.
Apakah itu salah anak-anak? Tentu tidak salah mereka. Mereka ada karena adanya orang dewasa. Sebagai orang tua, semestinya kita siap dengan berbagai perubahan dan siap mengantisipasi anak-anak agar tidak terjebak dalam “lingkaran setan” perubahan. Percayalah, manusia dari zaman ke zaman juga mengalami perubahan. Dari zaman purba yang tak kenal teknologi modern hingga zaman serbacanggih yang  mengenalkan sebuah perubahan komunikasi lewat teknologi. Semua orang bisa mengakses berbagai informasi lewat internet.
Sebab itulah, sekarang banyak bermunculan sekolah yang berbasic alam. Sekolah disetting agar anak-anak benar-benar belajar dengan riang. Jika di rumah mereka tak punya lahan bermain, paling tidak di sekolah mereka menikmati apa yang semestinya mereka nikmati. Alam, tanah, pepohonan, semilir angin (bukan semilir AC), dan lain-lain. Sebagai orang tua tentu tidak kehabisan ide. Ajaklah anak-anak jalan-jalan di pedesaan, kenalkan anak-anak pada lumpur di sawah dan hijaunya padi. Ajarkan anak-anak beragam permainan yang pernah kita mainkan sewaktu kecil. Bukankah tidak ada kata terlambat untuk memulai? ;)

Jogja, 110516

Tidak ada komentar:

Posting Komentar