Kita tidak bisa menampik, zaman yang
semakin modern membuat anak-anak kehilangan nikmatnya sebuah permainan. Masa
kecil aku habiskan di perkotaan. Mamak dan Abah yang asli Hulu Sungai Selatan,
sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan, memutuskan merantai ke Kota
Banjarmasin.
Namun, saat aku masih kecil,
Banjarmasin masih bernuansa desa. Di depan dan belakang rumah masih ada
persawahan. Aku dan teman-teman sering mencari haliling (keong sawah).
Kalau musim kemarau tiba, sawah itu berubah jadi tanah lapang yang luas. Ada
yang bermain bulu tangkis, layang-layang, sepak bola, rumah-rumahan,
masak-masakan, dan sebagainya. Kami juga sering bermain ilung atau eceng
gondok. Tanaman eceng gondok itu bisa dibuat jadi bahan masak-masakan atau
boneka. Biasanya kami memainkannya di pelataran rumah.
Di depan gang ada sungai yang masih
mengalir jernih. Anak-anak banyak yang berenang. Karena tidak bisa berenang,
aku hanya bermain-main di atas kelotok (perahu mesin). Di samping rumah ada
tanah yang ditumbuhi tanaman rumbia, tempat aku dan teman-teman bermain
rumah-rumahan. Yang paling sederhana tentunya jalan di gang yang masih tanah
murni, tidak berlapis batako. Jadi, setiap sepulang sekolah atau saat liburan,
anak-anak pasti ramai bermain kelereng dengan 3 lubang di tanah.
Sejak aku kuliah, suasana seperti itu
hilang dari gang tempat aku tinggal. Jalanan sudah berlapis batako, jadi aku
tidak lagi melihat anak-anak yang bermain kelereng. Bahkan, aku sangat jarang
melihat anak-anak bermain tali, petak umpet, dan sebagainya. Apakah salah
jalan? Tentu tidak. Jalanan berlapis batako karena proses peninggian jalan
untuk menghindari banjir saat musim hujan. Namun, apakah serta-merta perubahan
itu membuat suasana tempat tinggalku jadi sepi gelak tawa anak-anak, bahkan
sepi dari pertengkaran khas anak-anak? Aku pikir tidak begitu.
Aku ingat, dulu sering membuat logo
yang dicetak di tanah. Bahannya terbuat dari plastik yang dibakar dan
dicairkan. Namanya permainan balogo. Ada juga permainan berbahan tutup botol
“panta”. Panta di sini adalah minuman semacam limun yang biasanya dijual eceran
di warung-warung kecil. Minuman dalam botol kaca itu dituang di plastik yang
sudah berisi es. Minumannya murah banget. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi
sepertinya atau ada tapi terbatas di kampung-kampung tertentu. Nah, tutup botol
itu digepengkan dengan cara dipukul dengan palu. Sekitar puluhan tutup botol
disusun di tanah. Cara mainnya, tumpukan tutup botol itu dilempar dengan bola
tenis. Ada lagi permainan tumpuk sandal di dalam lingkaran besar, main “yasin”,
dan sebagainya.
Sawah di depan rumah sudah berganti
dengan bangunan rumah dan jalan tol. Jelas tak ada lagi kulihat anak-anak
pulang dengan membawa ember yang berisi haliling atau seplastik kangkung yang
dipetik di tepi sawah. Oh, iya, aku dan teman-teman sering memetik kangkung
untuk dimasak di rumah. Anak-anak main rumah-rumahan beratap daun rumbia? Duh,
itu hanya kenangan masa kecilku saja. Sawah di belakang rumah pun sudah
berganti petak demi petak rumah.
Sungai di depan gang bagaimana
nasibnya? Yang jelas, tak ada lagi kulihat anak-anak berenang, tak ada lagi
kelotok menambat di tepi sungai, tak ada lagi yang mau mandi bahkan sekadar
mencuci di sana. Sungainya telah berubah jadi layaknya kali mati atau selokan
saja.
Anak-anak sekarang dininabobokan oleh
teknologi. Setiap kali aku keluar rumah, selalu aku melihat anak-anak yang
memegang handphone. Tak pernah lagi kulihat anak-anak yang bercengkerama
di pelataran rumah sekadar bermain bp-an (bongkar pasang kertas), main
monopoli, atau dakuan (congklak). Tak pernah lagi kulihat anak-anak
“berantem” karena ada salah satu teman yang curang bermain kelereng, lalu orang
tuanya pun ikut-ikutan berantem. :D Pemandangan yang kulihat hanya anak-anak
yang sibuk nge-game dengan
Hp-nya. Kalaupun ada yang berkumpul, paling juga sibuk dengan gadget masing-masing.
Sosialisasi mereka berkurang. Kepekaan mereka terhadap lingkungan juga kurang.
Apakah itu salah anak-anak? Tentu
tidak salah mereka. Mereka ada karena adanya orang dewasa. Sebagai orang tua,
semestinya kita siap dengan berbagai perubahan dan siap mengantisipasi
anak-anak agar tidak terjebak dalam “lingkaran setan” perubahan. Percayalah,
manusia dari zaman ke zaman juga mengalami perubahan. Dari zaman purba yang tak
kenal teknologi modern hingga zaman serbacanggih yang mengenalkan sebuah perubahan komunikasi lewat
teknologi. Semua orang bisa mengakses berbagai informasi lewat internet.
Sebab itulah, sekarang banyak
bermunculan sekolah yang berbasic alam. Sekolah disetting agar anak-anak
benar-benar belajar dengan riang. Jika di rumah mereka tak punya lahan bermain,
paling tidak di sekolah mereka menikmati apa yang semestinya mereka nikmati.
Alam, tanah, pepohonan, semilir angin (bukan semilir AC), dan lain-lain.
Sebagai orang tua tentu tidak kehabisan ide. Ajaklah anak-anak jalan-jalan di
pedesaan, kenalkan anak-anak pada lumpur di sawah dan hijaunya padi. Ajarkan
anak-anak beragam permainan yang pernah kita mainkan sewaktu kecil. Bukankah
tidak ada kata terlambat untuk memulai? ;)
Jogja,
110516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar