Kamis, 07 April 2016

Surat untuk Abang Yasir



Hari ini tepat dua tahun kepergianmu, Bang. Masih teringat momen saat sarapan bersama Fuza, Shafa, dan acilmu paling bungsu. Ada ketukan di pintu rumah. Seorang remaja berseragam sekolah mengabarkan kamu kecelakaan. Temanmu tidak panik sama sekali. Aku pun tidak panik. Setengah piring nasi di dapur belum kuhabiskan karena sibuk menelepon mamamu di sekolah dan bapakmu di kantor.

Kamu sudah dibawa ke Puskesmas Gambut, dekat sekali dengan sekolah tempat mamamu mengajar. Mamamu pun tidak panik karena mengira kamu hanya kecelakaan ringan. Memang hanya ada luka kecil di antara dagu dan leher, namun luka itu yang menyebabkan pendarahan hebat. Katanya itu akibat tusukan benda besi di helm. Lagi-lagi mamamu tidak panik apalagi histeris macam sinetron di TV, yang sering kamu komentari, "Ngapain sinetron ditonton? Mending nonton Naruto."
Mamamu tidak mengira seorang siswa berseragam SMP yang tidur di dipan itu kamu, Bang. Kata orang Puskesmas, kamu sudah meninggal. Mamamu tidak percaya karena tidak ada luka serius yang tampak. Jasadmu terbujur di dipan Puskesmas. Mamamu menciumi ubun-ubunmu dan berucap dalam hati, "Gantengnya anakku." Ya, tak ada luka di wajahmu, seperti tidur lelap saja.

Dia masih sempat menelepon om-om, aku, dan saudara yang lain. Usul visum oleh pihak Puskesmas pun ditolak mamamu. Semua juga sepakat tidak perlu ada visum. Dia tidak berani menelepon Kai, takut Kai nekat langsung naik motor menyusul ke Gambut. Kamu tahu sendiri, Bang, Kai itu kalau masih muda kayak pembalap—katamu dulu.
Yang justru terpukul dan tak bisa berbuat apa-apa adalah bapakmu, Bang. Dia datang setelah mamamu tahu kamu sudah meninggal. Bapakmu terduduk lemas dan hampir pingsan. Sudah diatur sama Tuhan, Bang. Ada yang kuat dan ada yang perlu dikuatkan. Sampai kamu dimakamkan, bapakmu diam tanpa sepatah kata pun.
Sirene ambulans jam 12 siang terdengar di pekarangan. Masih terngiang bunyi itu, Bang. Tapi, aku yakin, kamu meninggal dalam keadaan baik, saat menuntut ilmu, setelah ujian sekolah. "Jangan menangis. Jangan menangis" Itu yang aku kuatkan dalam hati.
Rasanya baru kemarin memandikan wajah montokmu sewatu bayi. Rasanya baru kemarin menyiapkan sarapanmu meski setelah kelas 5 SD kamu tidak mau lagi disiapkan sarapan karena bisa masak sendiri. Rasanya baru kemarin kamu usia empat tahun kuajak jalan ke Pasar Ahad Pal 7. Rasanya baru kemarin kamu berangkat sekolah naik angkot, pulang pun naik angkot. Rasanya baru kemarin melihat kamu malu dan enggan kalau satu angkot dengan mamamu karena mamamu juga gurumu di sekolah. Kamu benar-benar tidak pernah mau dianggap istimewa karena anak seorang guru. Kamu ingin disamakan dengan siswa lainnya.


Rasanya baru kemarin kamu mengantarku ke warung belakang kompleks. Rasanya baru kemarin melihatmu menikmati buah durian dengan Shafa. Rasanya baru kemarin kamu mendadak mau berhenti pondok dan ingin meneruskan sekolah dekat rumah saja. Rupanya itulah tanda kamu ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarga dan teman-temanmu. Rasanya baru kemarin kamu mengetuk pintu kamar mamamu, dan minta oleskan obat ke kakimu yang sakit karena futsal—ya itulah malam terakhir kamu bermanja-manja dengan mamamu.
Mamamu memang sangat tegar, Bang. Dia memandikan dan mengafanimu dibantu bapakmu yang masih tampak lemas. Semua ikut mengurus jenazahmu. Kai datang sesaat setelah kamu tiba di rumah. Saat meninggal Om Muhyi, Kai tidak terpukul seperti itu karena dia menemani Om selama sakit. Sekarang kehilangan cucu pertama mungkin seperti kehilangan permata baginya. Tapi, Bang, kesedihannya tak berlarut. Rasa terpukulnya hanya sebentar. Kai, Nini, om-om, mamamu, bapakmu, dan aku memandikanmu. Memandikanmu seperti memandikan Abang Yasir kecil yang tidak pernah cerewet dimandikan oleh siapa pun. Abang Yasir yang selalu mengumbar senyum.
Bang, pusaramu tepat di samping Kai Nini-mu di Ulin, Kandangan. Pantaslah sejak mamamu menikah dengan bapakmu 18 tahun lalu, rumah di Ulin itu menjadi tempat yang tidak pernah bosan dikunjungi. Kita sering berakhir pekan di sana. Panen rambutan, memetik buah kelapa, main sepeda ontel, dan sebagainya. Suasananya adem dan damai. Rupanya persiapan di masa depan, kami selalu bahagia mengunjungimu kapan pun.
Salam sayang, Abang Yasir.
Mama Acil.

Jogja, 080416

Tidak ada komentar:

Posting Komentar