Hari ini tepat dua tahun kepergianmu, Bang. Masih
teringat momen saat sarapan bersama Fuza, Shafa, dan acilmu paling bungsu. Ada
ketukan di pintu rumah. Seorang remaja berseragam sekolah mengabarkan kamu
kecelakaan. Temanmu tidak panik sama sekali. Aku pun tidak panik. Setengah
piring nasi di dapur belum kuhabiskan karena sibuk menelepon mamamu di sekolah
dan bapakmu di kantor.
Kamu sudah dibawa ke Puskesmas Gambut, dekat
sekali dengan sekolah tempat mamamu mengajar. Mamamu
pun tidak panik karena mengira kamu hanya kecelakaan ringan. Memang hanya ada
luka kecil di antara dagu dan leher, namun luka itu yang menyebabkan pendarahan
hebat. Katanya itu akibat tusukan benda besi di helm. Lagi-lagi mamamu tidak
panik apalagi histeris macam sinetron di TV, yang sering kamu komentari,
"Ngapain sinetron ditonton? Mending nonton Naruto."
Mamamu tidak mengira seorang siswa berseragam SMP
yang tidur di dipan itu kamu, Bang. Kata orang Puskesmas, kamu sudah meninggal.
Mamamu tidak percaya karena tidak ada luka serius yang tampak. Jasadmu terbujur
di dipan Puskesmas. Mamamu menciumi ubun-ubunmu dan berucap dalam hati,
"Gantengnya anakku." Ya, tak ada luka di wajahmu, seperti tidur lelap
saja.
Dia masih sempat menelepon om-om, aku, dan saudara
yang lain. Usul visum oleh pihak Puskesmas pun ditolak mamamu. Semua juga
sepakat tidak perlu ada visum. Dia tidak berani menelepon Kai, takut Kai nekat
langsung naik motor menyusul ke Gambut. Kamu tahu sendiri, Bang, Kai itu kalau
masih muda kayak pembalap—katamu dulu.
Yang justru terpukul dan tak bisa berbuat apa-apa
adalah bapakmu, Bang. Dia datang setelah mamamu tahu kamu sudah meninggal.
Bapakmu terduduk lemas dan hampir pingsan. Sudah diatur sama Tuhan, Bang. Ada
yang kuat dan ada yang perlu dikuatkan. Sampai kamu dimakamkan, bapakmu diam
tanpa sepatah kata pun.
Sirene ambulans jam 12 siang terdengar di
pekarangan. Masih terngiang bunyi itu, Bang. Tapi, aku yakin, kamu meninggal
dalam keadaan baik, saat menuntut ilmu, setelah ujian sekolah. "Jangan
menangis. Jangan menangis" Itu yang aku kuatkan dalam hati.
Rasanya baru kemarin memandikan wajah montokmu
sewatu bayi. Rasanya baru kemarin menyiapkan sarapanmu meski setelah kelas 5 SD
kamu tidak mau lagi disiapkan sarapan karena bisa masak sendiri. Rasanya baru
kemarin kamu usia empat tahun kuajak jalan ke Pasar Ahad Pal 7. Rasanya baru
kemarin kamu berangkat sekolah naik angkot, pulang pun naik angkot. Rasanya baru
kemarin melihat kamu malu dan enggan kalau satu angkot dengan mamamu karena
mamamu juga gurumu di sekolah. Kamu benar-benar tidak pernah mau dianggap istimewa karena anak
seorang guru. Kamu ingin disamakan dengan siswa lainnya.
Rasanya baru kemarin kamu mengantarku ke warung
belakang kompleks. Rasanya baru kemarin melihatmu menikmati buah durian dengan
Shafa. Rasanya baru kemarin kamu mendadak mau berhenti pondok dan ingin meneruskan sekolah dekat
rumah saja. Rupanya itulah tanda kamu ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarga dan teman-temanmu. Rasanya baru kemarin kamu mengetuk pintu kamar mamamu, dan minta
oleskan obat ke kakimu yang sakit karena futsal—ya itulah malam terakhir kamu
bermanja-manja dengan mamamu.
Mamamu memang sangat tegar, Bang. Dia memandikan
dan mengafanimu dibantu bapakmu yang masih tampak lemas. Semua ikut mengurus
jenazahmu. Kai datang sesaat setelah kamu tiba di rumah. Saat meninggal Om
Muhyi, Kai tidak terpukul seperti itu karena dia menemani Om selama sakit.
Sekarang kehilangan cucu pertama mungkin seperti kehilangan permata baginya.
Tapi, Bang, kesedihannya tak berlarut. Rasa terpukulnya hanya sebentar. Kai,
Nini, om-om, mamamu, bapakmu, dan aku memandikanmu. Memandikanmu seperti
memandikan Abang Yasir kecil yang tidak pernah cerewet dimandikan oleh siapa
pun. Abang Yasir yang selalu mengumbar senyum.
Bang, pusaramu tepat di samping Kai Nini-mu di
Ulin, Kandangan. Pantaslah sejak mamamu menikah dengan bapakmu 18 tahun lalu,
rumah di Ulin itu menjadi tempat yang tidak pernah bosan dikunjungi. Kita
sering berakhir pekan di sana. Panen rambutan, memetik buah kelapa, main sepeda
ontel, dan sebagainya. Suasananya adem dan damai. Rupanya persiapan di masa
depan, kami selalu bahagia mengunjungimu kapan pun.
Salam sayang, Abang Yasir.
Mama Acil.
Jogja,
080416
Tidak ada komentar:
Posting Komentar