Ah, ini tema yang bikin geregetan! Kenangan yang memalukan. Hmmm, memang diriku malu-maluin dari sononya, sih. :D Tapi, rasanya pengin naik ke loteng dan tidak turun-turun sampai ada ngasih segenggam
berlian kalau ingat pengalaman satu ini. Haseeem! :p
Ini cerita saat aku baru masuk ke
asrama pondok pesantren. Kira-kira belum seminggu tinggal di asrama. Seperti
yang sudah aku ceritakan di postingan sebelumnya, aku kuliah sembari nyantri di
PP Nurul Jadid. Jadi, sebenarnya aku ini telat nyantri. Malah lebih dulu dua
adikku yang sejak lulus SD sudah dimasukkan ke pondok pesantren nun jauh
di pulau seberang.
Apakah begini ekspresi malu? Entahlah. Sekadar ilustrasi. Lokasi: Museum Keraton Solo. |
Kebiasaan anak pondok itu antre di
depan kamar mandi. Apa? Bagi-bagi sembako? Enak saja. Antre BBM! Buru-Buru
Mandi (BBM). Biarin bikin singkatan sendiri. :D Kalau mau mandi lebih cepat,
mesti buru-buru ke kamar mandi kalau
tidak mau didahului teman lain dan terpaksa mengantre di depannya. Antre
sembako saja kalah dapatnya antre kamar mandi.
Aku tinggal di salah satu asrama putri
(iyalah, masa asrama putra? Pletak!) yang jumlah santrinya lebih sedikit
daripada asrama-asrama lainnya. Jumlah kamar mandi pun disesuaikan dengan
banyak santri. Ya, zaman itu (tidak mau menyebutkan tahun. Nanti ketahuan tua.
Uhuk!), perbandingan kamar mandi dan jumlah santri adalah sekitar 1:10. Ada
nilai positif yang aku dapatkan selama empat tahun mengantre mandi, yakni disiplin
dan jujur. Kalau sampai ada yang curang menyerobot antrean, jangan harap
suasana bakal hening. Pasti bakal disorakin teman-teman. :D
Namanya santri putri, pasti kamar
mandi juga disediakan fasilitas
pembuangan pembalut. Tahu apa itu pembalut, kan? Kalau tidak tahu, searching
saja. :p Apakah tempat pembuangannya sama dengan kamar mandi lain yang
disediakan tempat sampah? Oh, tentu tidak. Tempat sampah yang kecil itu tentu
tidak bisa menampung pembalut ratusan santri. Bayangkan saja, deh.
Jadi, di depan kamar mandi, disediakan
lubang yang dalamnya bermeter-meter dan diameter sekitar satu meter lebih. Aku
tidak pernah mengukur berapa dalamnya. Bagaimana mengukurnya? Gubrak! Mungkin
sekitar dua meter lebih.
Lubang itu ditutupi seng lumayan
tebal. Para santri tinggal membuang pembalutnya ke lubang itu. Secara rutin, pembalut-pembalut itu dibakar
dengan tertutup seng tebal. Salut buat pengurus kebersihan yang dengan sukarela
membakarnya. Jika tumpukan pembalut itu basah terkena air hujan, pengurus
kebersihan akan menjemurnya lebih dulu agar cepat terbakar. Ah, aku tidak
terbayang menjadi pengurus kebersihan di asrama. Sebab itulah, selama jadi
pengurus di sana, aku selalu berdoa semoga tidak diangkat sebagai pengurus
bidang kebersihan. Pletak! Tapi, aku tidak sungkan membantu membersihkan got
ketika meluap, misal. #modus biar dibilang rajin. :p
Karena ulah lubang besar itulah, aku
menanggung malu yang bikin wajah bersemu pink (biar lebih romantis. Hew!). Pertama
nyantri, aku tidak tahu kalau ada lubang di bawah seng tebal itu. Sudah
tertebak ending-nya? Oke, karena tidak tahu, kakiku menginjak itu seng dan… BUG!
Aku jatuh ke lubang yang penuh… ah, sudah, jangan dibayangkan. Syukurlah saat
itu musim kemarau. Hmmm…. Yang perlu aku lakukan adalah meminta pertolongan
seseorang. Untunglah ada dua orang santri yang berjalan dari tempat jemuran
pakaian.
Sakit, sih, tidak. Malunya itu, lho. Sampai
bertahun-tahun masih ada teman yang ingat tragedi itu dan jadi bahan candaan. Aku
mah santai ikut ketawa juga, padahal malu pakai bangeeet. Hahaha…. Kenangan tak
terlupakan sampai kapan pun. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya! #SeretSandal.
Salam penuh kenangan!
Jogja,
070416
Haha..ngebayangin aja bagai mandi dikolam bola mbak..dingin2 empyuk..hihi
BalasHapusMengarungi lautan, mendaki bukit. Ah ah... #tutupmuka
HapusAnyir nggak? Malah jadi horor kalo bau2 anyir gitu. Wkwk
BalasHapusSudah lupa gimana rasanya. Malunya aja yg gak ilang2. 😙
Hapushahaha getek bayanginnya mba :p
BalasHapusOjo dibayangin. Merem aja. Wkwkwk...
Hapus