Banyak pemberitaan media tentang
bintang jasa Jero Wacik dan putusan vonis oleh hakim. Wacana pencabutan bintang
jasa itu semakin santer terdengar, padahal putusan itu belum final karena masih
ada proses banding yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pertanyaannya, apakah bintang jasa itu pantas dicabut meski keputusan hakim
hanya “Jero Wacik bersalah karena tidak mengontrol bawahannya dalam mengelola
keuangan”? Ya, banyak yang menyimpulkan Jero Wacik divonis empat tahun karena korupsi,
padahal jelas hakim menyebutkan kesalahan Jero Wacik hanya kurang mengawasi
bawahannya. Dalam artian, sebagai pimpinan, Jero Wacik turut bertanggung jawab
atas kekeliruan yang terjadi di lembaga yang dia pimpin.
Saya pikir, wacana pencabutan bintang
jasa itu terlalu dini diumbar-umbar. Proses hukum masih berjalan dan belum ada
hasil final. Seperti diketahui bersama, selama menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata selama dua periode pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Jero Wacik mendapat penghargaan Bintang Mahaputera
Adipradana karena jasa-jasanya yang luar biasa pada negara. Bintang jasa itu
sebagai bukti selama menjabat sebagai menteri, Jero Wacik mengabdi sepenuhnya
kepada bangsa dan negara. Ini terlihat dari berbagai bukti keberhasilan Jero
Wacik dalam meningkatkan pariwisata Indonesia paska tragedi Bom Bali dan
Tsunami.
Sumber gambar: www.siperubahan.com |
Sebagai manusia, banyak lika-liku hidup
yang pasti kita alami. Kadang hitam, kadang putih. Kadang berada di atas,
kadang berada di bawah. Kadang kita melakukan hal yang terbaik. Kadang juga
kita terjerumus dalam keburukan. Saya lulus SD dengan nilai terbaik, namun saat
lulus SMP prestasi saya menurun. Apakah prestasi saat SD itu otomatis tidak
bernilai? Saya lulus SMA dengan nilai terbaik alias juara umum. Saat lulus
kuliah sebagai sarjana, nilai saya pas-pasan alias bukan menjadi yang terbaik.
Apakah prestasi saya semasa SMA itu lantas tidak artinya? Semua itu adalah
proses. Setiap fase punya nilai historis sendiri.
Jika selama menjadi Menbudpar dinilai
berprestasi dan memberi keuntungan secara materi kepada negara, kemudian
tersandung masalah korupsi—yang nyatanya Jero Wacik hanya kena getah ulah sang
Sekjen—apa pantas bintang jasa itu dicabut?
Ah, kalau saya mah bintang jasa itu
tidak penting. Karena sebagai manusia yang banyak dosa dan khilaf, apalah
artinya sebuah bintang jasa pemberian manusia? Penghargaan sejati itu hanya
dari Tuhan. Mungkin kalau hal ini saya tanyakan langsung ke Jero Wacik, dia pun
bakal menjawab serupa jawaban saya.
Andaipun nanti di hasil final Jero
Wacik divonis bersalah sebagai koruptor, dicabut atau tidaknya bintang jasa itu
tidak berpengaruh terhadap prestasi yang pernah Jero Wacik berikan kepada
negara. Iya toh? Sebagai rakyat, saya pernah merasakan hasil prestasi Jero
Wacik, merasakan meningkatnya devisa negara dari pariwisata saat Jero Wacik
menjabat sebagai Menbudpar.
“Tapi, kan, Jero Wacik itu memberi
contoh yang tidak baik kepada generasi bangsa, jadi bintang jasanya pantas
dicabut.” Mungkin ada yang berkata begitu. Masyarakat sudah pintar memilah APA
yang patut dicontoh dan APA yang tidak, kok. Saya capslock kata APA biar
paham yang saya maksudkan. Selama ini banyak yang terlalu megeneralisasi permasalahan.
“Unzhur maa qaala wala tanzhur man qaala” (Ali bin Abi Thalib). Artinya: Lihatlah
apa yang dikatakan, tapi jangan melihat siapa yang mengatakan. Lihatlah apa
hasil kinerjanya, bukan melihat siapa orangnya. Buang contoh yang buruk, ambil
contoh yang baik. Beres.
Permasalahan pencabutan Bintang Mahaputera
juga pernah penimpa DN Aidit, seorang tokoh PKI yang diduga sebagai dalang tragedi
1965. DN Aidit menerima penghargaan Bintang Mahaputera karena jasa-jasanya
kepada negara. Penghargaan itu sendiri dicabut setahun setelag tragedy 1965,
setelah DN Aidit tewas diburu TNI AD karena tuduhan membunuh enam jenderal. Namun,
seiring berjalannya waktu, tuduhan itu tidak berdasar sama sekali. Ah, sejarah
memang sulit ditebak jika menyangkut politik. Celakanya, banyak masyarakat awam
yang terdoktrin Orde Baru bahwa DN Aidit-lah pelaku utama. Kasus yang gelap.
(http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-pencabutan-bintang-mahaputra-untuk-dn-aidit.html)
Jogja,
040416
Tidak ada komentar:
Posting Komentar