Minggu, 03 April 2016

Pantaskah Bintang Jasa Mahaputera Dicabut?

Banyak pemberitaan media tentang bintang jasa Jero Wacik dan putusan vonis oleh hakim. Wacana pencabutan bintang jasa itu semakin santer terdengar, padahal putusan itu belum final karena masih ada proses banding yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pertanyaannya, apakah bintang jasa itu pantas dicabut meski keputusan hakim hanya “Jero Wacik bersalah karena tidak mengontrol bawahannya dalam mengelola keuangan”? Ya, banyak yang menyimpulkan Jero Wacik divonis empat tahun karena korupsi, padahal jelas hakim menyebutkan kesalahan Jero Wacik hanya kurang mengawasi bawahannya. Dalam artian, sebagai pimpinan, Jero Wacik turut bertanggung jawab atas kekeliruan yang terjadi di lembaga yang dia pimpin.
Saya pikir, wacana pencabutan bintang jasa itu terlalu dini diumbar-umbar. Proses hukum masih berjalan dan belum ada hasil final. Seperti diketahui bersama, selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata selama dua periode pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jero Wacik mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana karena jasa-jasanya yang luar biasa pada negara. Bintang jasa itu sebagai bukti selama menjabat sebagai menteri, Jero Wacik mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara. Ini terlihat dari berbagai bukti keberhasilan Jero Wacik dalam meningkatkan pariwisata Indonesia paska tragedi Bom Bali dan Tsunami.
Sumber gambar: www.siperubahan.com
Sebagai manusia, banyak lika-liku hidup yang pasti kita alami. Kadang hitam, kadang putih. Kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Kadang kita melakukan hal yang terbaik. Kadang juga kita terjerumus dalam keburukan. Saya lulus SD dengan nilai terbaik, namun saat lulus SMP prestasi saya menurun. Apakah prestasi saat SD itu otomatis tidak bernilai? Saya lulus SMA dengan nilai terbaik alias juara umum. Saat lulus kuliah sebagai sarjana, nilai saya pas-pasan alias bukan menjadi yang terbaik. Apakah prestasi saya semasa SMA itu lantas tidak artinya? Semua itu adalah proses. Setiap fase punya nilai historis sendiri.
Jika selama menjadi Menbudpar dinilai berprestasi dan memberi keuntungan secara materi kepada negara, kemudian tersandung masalah korupsi—yang nyatanya Jero Wacik hanya kena getah ulah sang Sekjen—apa pantas bintang jasa itu dicabut?
Ah, kalau saya mah bintang jasa itu tidak penting. Karena sebagai manusia yang banyak dosa dan khilaf, apalah artinya sebuah bintang jasa pemberian manusia? Penghargaan sejati itu hanya dari Tuhan. Mungkin kalau hal ini saya tanyakan langsung ke Jero Wacik, dia pun bakal menjawab serupa jawaban saya.
Andaipun nanti di hasil final Jero Wacik divonis bersalah sebagai koruptor, dicabut atau tidaknya bintang jasa itu tidak berpengaruh terhadap prestasi yang pernah Jero Wacik berikan kepada negara. Iya toh? Sebagai rakyat, saya pernah merasakan hasil prestasi Jero Wacik, merasakan meningkatnya devisa negara dari pariwisata saat Jero Wacik menjabat sebagai Menbudpar.
“Tapi, kan, Jero Wacik itu memberi contoh yang tidak baik kepada generasi bangsa, jadi bintang jasanya pantas dicabut.” Mungkin ada yang berkata begitu. Masyarakat sudah pintar memilah APA yang patut dicontoh dan APA yang tidak, kok. Saya capslock kata APA biar paham yang saya maksudkan. Selama ini banyak yang terlalu megeneralisasi permasalahan. “Unzhur maa qaala wala tanzhur man qaala” (Ali bin Abi Thalib). Artinya: Lihatlah apa yang dikatakan, tapi jangan melihat siapa yang mengatakan. Lihatlah apa hasil kinerjanya, bukan melihat siapa orangnya. Buang contoh yang buruk, ambil contoh yang baik. Beres.
Permasalahan pencabutan Bintang Mahaputera juga pernah penimpa DN Aidit, seorang tokoh PKI yang diduga sebagai dalang tragedi 1965. DN Aidit menerima penghargaan Bintang Mahaputera karena jasa-jasanya kepada negara. Penghargaan itu sendiri dicabut setahun setelag tragedy 1965, setelah DN Aidit tewas diburu TNI AD karena tuduhan membunuh enam jenderal. Namun, seiring berjalannya waktu, tuduhan itu tidak berdasar sama sekali. Ah, sejarah memang sulit ditebak jika menyangkut politik. Celakanya, banyak masyarakat awam yang terdoktrin Orde Baru bahwa DN Aidit-lah pelaku utama. Kasus yang gelap.
(http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-pencabutan-bintang-mahaputra-untuk-dn-aidit.html)
Jogja, 040416

Tidak ada komentar:

Posting Komentar