Dalam seminggu, lima hari dari pagi
sampai jelang senja, aku beraktivitas di kantor. Sabtu dan Minggu aku libur.
Awalnya aku pikir liburan itu ya ke luar kota. Ternyata tidak harus, lho.
Kemarin sempat beberapa bulan aku libur mbolang ke luar kota karena satu
kondisi. Apakah aku dilanda kebosanan? Awalnya, iya. Biasanya keluyuran naik
kereta atau bus, eh malah dengan santai (santai???) berkurung di kamar.
Namun, pola pikir itu berubah. Bagiku,
liburan itu tidak mesti jalan-jalan ke luar kota, mal, gunung, pantai, atau
tempat wisata lainnya. Berlibur artinya melakukan aktivitas di luar rutinitas
biasanya. Bisa dilakukan di mana saja, bahkan di rumah sekalipun. Sebelum
merantau ke Jogja, aku punya kebiasaan menanam tanaman (masa saham?) di pekarangan
rumah. Menanam pohon singkong, umbi-umbian, pepaya, dan cabe. Rasanya senang
saja menghabiskan akhir pekan dengan tanaman-tanaman itu.
Sekarang di Jogja mana bisa bercocok
tanam. Wong tinggal di kos dan tidak ada lahan yang bisa ditanami. Mau nanam di
pekarangan tetangga, takut diomelin. Kan berabe. Dari SMA, ada satu kebiasaanku
yang tidak pernah hilang, yakni keluyuran (baca: jalan kaki) di jalan raya. Kenapa
aku punya kebiasaan jalan kaki di jalan raya? Kenapa jalan kaki di jalan raya
termasuk liburan bagiku?
Pertama, alasannya olahraga.
Bayangkan saja, lima hari duduk memelototi komputer, apa tidak pegal ini
punggung? Maka, jalan kaki adalah solusi untuk menyeimbangkan kondisi tubuh.
Apa aku jalan kaki karena tidak bisa naik motor? Tidak juga, sih. Sewaktu masih
tinggal di Banjarbaru saja, aku sering jalan kaki ke warung meski sering
ditawarin diantar naik motor. Lah, jaraknya cuma seuprit masa mesti diantar
atau naik motor? Zaman sekarang, orang memang senangnya serbapraktis. Aku jadi
berpikir, apa jarak jadi semakin jauh, ya, sekarang? Dulu jalan kaki ke sekolah
hampir satu jam tidak masalah. Sekarang ke depan gang yang jaraknya cuma 200
meter saja naik motor.
Kalau yang ini alasan kesekian dan tidak perlu ditiru. Tidak bisa lihat pohon, jadi belagak artis Bollywood gitu. :p |
Kedua, aku pencinta trotoar.
Berjalan di trotoar di antara riuh mesin kendaraan itu rasanya amazing!
Sayangnya, kadang orang memandang aneh dengan kebiasaanku ini,apalagi di
daerahku Banjarmasin. Di sana jarang sekali terlihat orang jalan kaki. Kayaknya
masing-masing orang punya motor, deh. Selalu ada orang yang sedang mengendarai
motor, menoleh ke arahku yang sedang jalan kaki. Why? Aku malah takut dia
kurang fokus karena melihat diriku yang manis dan cantik. Weks!
Trotoar itu surga pejalan kaki. Aku
juga sering memperhatikan kondisi trotoar di setiap jalan. Terus terang, di
kampung halamanku, kondisi trotoar kebanyakannya tidak layak dan kadang malah
tidak ada fasilitas trotoar. Di Jogja mah masih mending. Trotoarnya lebih
bagus. Setiap mengunjungi satu kota, aku selalu memperhatikan trotoarnya.
Pernah ada satu temanku yang terheran-heran ketika aku takjub melihat trotoar
yang kinclong. “Biasa aja kali. Itu trotoar baru dicat,” ucapnya. Pletak!
Kondisi trotoar di salah satu ruas jalan di Banjarbaru. |
Ketiga, berbagai warna kehidupan ada
di jalan raya. Kalau mau melihat kondisi sebuah
negara, lihatlah jalan rayanya. Tidak ada salahnya sesekali kita melihat dan memperhatikan
kondisi jalan raya, melihat sisi lain kehidupan. Ada penjual koran dari usia SD
sampai usia tua. Ada pedagang asongan yang turun naik bus kota tanpa kenal
lelah. Ada mobil dari berbagai tipe, dari yang sederhana sampai mewah sekelas
merci. Ada pengemis dan pengamen di setiap lampu merah. Ada pengendara yang
dengan santainya menembus lampu merah, pas dijepret polisi, eh nyelipin amplop.
Ada polis yang jujur menolak suap, ada juga polisi yang malu-malu menerima
suapan si pengendara. Ada makelar angkot di setiap tepi jalan. Ada si sopir
yang sukarela memberikan jatah buat si makelar. Ada jalanan yang mulus, ada
jalanan bak jerawat yang tidak hilang-hilang. Ada pedagang kaki lima yang
menawarkan berbagai makanan dan barang. Banyak sekali warna kehidupan di jalan
raya.
Keempat, jalan kaki di jalan raya
adalah liburan supermurah! Mau jajan? Tinggal mampir di
pedagang kaki lima. Beli makanan di pedagang kaki lima juga membantu
perekonomian mereka, lho. Dan, tidak perlu ada aturan “tidak boleh membawa
makanan/minuman dari luar” kayak aturan di restoran-restoran. Bawa minuman
sendiri, makannya di warteg, kan murah toh? Ini karena kebiasaanku bawa air
mineral ke mana-mana. Kadang penjualnya heran dan bertanya, “Nggak pesan
minuman, Mbak?” tapi, kalau kehabisan air ya beli, dong. :D
Penjual ubi dan kacang rebus di Jogja. |
Kelima, berbincang dengan orang-orang
baru. Banyak yang bilang aku orang yang tertutup dan
pelit bicara. Itu dulu. Yang menyimpulkan itu biasanya teman masa SMP, SMA, dan
kuliah. Padahal, aku hobi ngobrol, lho. Aku juga suka ngocol meski kadang gagal
lucu. L Tapi, memang
kadang aku lebih memilih diam jika sikon tidak mendukung. Mengobrol dengan
pedagang kaki lima dan orang-orang yang kutemui di jalanan itu rasanya mengasyikkan.
Misal, sama-sama menunggu angkot di halte, kesempatan itu aku gunakan untuk
mengobrol dengan sesama penunggu angkot. Berbagi cerita kehidupan meski sekilas
itu membekas di hati dan pikiran.
Berbincang dengan seorang perantau dari Jawa Barat di kawasan Malioboro. |
Satu tips kalau mau liburan seperti di
atas: Jangan lupa siapkan masker, pakai kaus kaki dan alas kaki (tentu dong!), payung,
dan air mineral.
Tentunya masih banyak liburan yang
tidak perlu biaya banyak. Misalnya, ajak keluarga berkunjung ke museum dekat
rumah, pasar tradisional (ini mesti atur pengeluaran juga. Hehe), atau main
rumah-rumahan di halaman belakang/pekarangan rumah? Banyak pilihan dan jangan
takut kekurangan dana. Liburan itu bisa disiasati agar tetap mengasyikkan dan
meninggalkan kenangan indah.
Salam
liburan!
Jogja,
030416
Saya setuju sebaiknya pencabutan gelar itu tdk terburu-buru.
BalasHapus