Kamis, 07 April 2016

Jangan Bilang Siapa-siapa, Ya!



Ah, ini tema yang bikin geregetan! Kenangan yang memalukan. Hmmm, memang diriku malu-maluin dari sononya, sih. :D Tapi, rasanya pengin naik ke loteng dan tidak turun-turun sampai ada ngasih segenggam berlian kalau ingat pengalaman satu ini. Haseeem! :p
Ini cerita saat aku baru masuk ke asrama pondok pesantren. Kira-kira belum seminggu tinggal di asrama. Seperti yang sudah aku ceritakan di postingan sebelumnya, aku kuliah sembari nyantri di PP Nurul Jadid. Jadi, sebenarnya aku ini telat nyantri. Malah lebih dulu dua adikku yang sejak lulus SD sudah dimasukkan ke pondok pesantren nun jauh di pulau seberang.
Apakah begini ekspresi malu? Entahlah. Sekadar ilustrasi. Lokasi: Museum Keraton Solo.
Kebiasaan anak pondok itu antre di depan kamar mandi. Apa? Bagi-bagi sembako? Enak saja. Antre BBM! Buru-Buru Mandi (BBM). Biarin bikin singkatan sendiri. :D Kalau mau mandi lebih cepat, mesti buru-buru  ke kamar mandi kalau tidak mau didahului teman lain dan terpaksa mengantre di depannya. Antre sembako saja kalah dapatnya antre kamar mandi.
Aku tinggal di salah satu asrama putri (iyalah, masa asrama putra? Pletak!) yang jumlah santrinya lebih sedikit daripada asrama-asrama lainnya. Jumlah kamar mandi pun disesuaikan dengan banyak santri. Ya, zaman itu (tidak mau menyebutkan tahun. Nanti ketahuan tua. Uhuk!), perbandingan kamar mandi dan jumlah santri adalah sekitar 1:10. Ada nilai positif yang aku dapatkan selama empat tahun mengantre mandi, yakni disiplin dan jujur. Kalau sampai ada yang curang menyerobot antrean, jangan harap suasana bakal hening. Pasti bakal disorakin teman-teman. :D
Namanya santri putri, pasti kamar mandi juga disediakan  fasilitas pembuangan pembalut. Tahu apa itu pembalut, kan? Kalau tidak tahu, searching saja. :p Apakah tempat pembuangannya sama dengan kamar mandi lain yang disediakan tempat sampah? Oh, tentu tidak. Tempat sampah yang kecil itu tentu tidak bisa menampung pembalut ratusan santri. Bayangkan saja, deh.
Jadi, di depan kamar mandi, disediakan lubang yang dalamnya bermeter-meter dan diameter sekitar satu meter lebih. Aku tidak pernah mengukur berapa dalamnya. Bagaimana mengukurnya? Gubrak! Mungkin sekitar dua meter lebih.
Lubang itu ditutupi seng lumayan tebal. Para santri tinggal membuang pembalutnya ke lubang itu.  Secara rutin, pembalut-pembalut itu dibakar dengan tertutup seng tebal. Salut buat pengurus kebersihan yang dengan sukarela membakarnya. Jika tumpukan pembalut itu basah terkena air hujan, pengurus kebersihan akan menjemurnya lebih dulu agar cepat terbakar. Ah, aku tidak terbayang menjadi pengurus kebersihan di asrama. Sebab itulah, selama jadi pengurus di sana, aku selalu berdoa semoga tidak diangkat sebagai pengurus bidang kebersihan. Pletak! Tapi, aku tidak sungkan membantu membersihkan got ketika meluap, misal. #modus biar dibilang rajin. :p
Karena ulah lubang besar itulah, aku menanggung malu yang bikin wajah bersemu pink (biar lebih romantis. Hew!). Pertama nyantri, aku tidak tahu kalau ada lubang di bawah seng tebal itu. Sudah tertebak ending-nya? Oke, karena tidak tahu, kakiku menginjak itu seng dan… BUG! Aku jatuh ke lubang yang penuh… ah, sudah, jangan dibayangkan. Syukurlah saat itu musim kemarau. Hmmm…. Yang perlu aku lakukan adalah meminta pertolongan seseorang. Untunglah ada dua orang santri yang berjalan dari tempat jemuran pakaian.
Sakit, sih, tidak. Malunya itu, lho. Sampai bertahun-tahun masih ada teman yang ingat tragedi itu dan jadi bahan candaan. Aku mah santai ikut ketawa juga, padahal malu pakai bangeeet. Hahaha…. Kenangan tak terlupakan sampai kapan pun. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya! #SeretSandal.

Salam penuh kenangan!

Jogja, 070416

6 komentar:

  1. Haha..ngebayangin aja bagai mandi dikolam bola mbak..dingin2 empyuk..hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mengarungi lautan, mendaki bukit. Ah ah... #tutupmuka

      Hapus
  2. Anyir nggak? Malah jadi horor kalo bau2 anyir gitu. Wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah lupa gimana rasanya. Malunya aja yg gak ilang2. 😙

      Hapus