Senin, 16 Februari 2015

Kutang


KAMARKU berada di lantai atas dan sering dijadikan tempat mengobrol oleh teman-temanku. Seperti biasa, kami menikmati camilan di kamar kosku bercat warna abu-abu itu. Yang namanya cewek semua, obrolan pun tentu tak jauh dari hal yang berhubungan dengan wanita. Entah kenapa topik pembicaraan kali ini adalah kutang alias bra alias BH. Siapa yang tidak tahu pakaian dalam itu?
“Ran, tahu, nggak, cara mengetahui ukuran kutang orang?” tanyaku pada Rani.
“Ya..., ditanyain. Masa ngukur pakai meteran?” jawab Rani.
Teman-teman tertawa sambil khusyuk menikmati kuaci.
“Macam-macam aja, deh, pertanyaanmu, Ai!” sahut Ifa dengan mulut penuh roti.
“Pertanyaan serius ini. Siapa tahu nanti suami kalian beliin kutang, tapi nggak tahu ukurannya....
“Udah, deh, emang gimana cara ngukurnya?” desak Rani.
“Begini. Lihat caraku, ya! Tanyain aja ke penjualnya, ‘Mbak, kutang yang seukuran segini, ada nggak?,” kataku sambil mendekatkan kedua telapak tangan ke dada Rani. Hampir dekat... semakin dekat...
“Ai gila!!!” teriak mereka berbarengan.
Kulit kuaci pun beterbangan ke mukaku. Bantal guling tiba-tiba begitu lihai berakrobat. Hadeeeh....
“Hahaha....” Aku lari keluar kamar dengan terbahak.
Tak lama, HP di saku celanaku berdering. Sebuah panggilan masuk dari sepupuku paling cantik sehutan Kalimantan. Sebenarnya, dia sepupu jauhku. Kata orang Banjar, sih, sepupu tiga kali karena kakek dan nenek kami sepupuan. Kutinggalkan teman-temanku, lalu duduk di tangga. Kebetulan Ida juga sedang teleponan dengan... tunangannya mungkin.
“Apa kabar?” sapa sepupuku.
“Alhamdulillah. Lagi di mana?” tanyaku.
Kami pun asyik mengobrol. Anehnya, topik obrolan kami adalah kutang! Katanya, di kampung, kutang-kutang dibiarkan menghiasi jalan.
"Ah, biarin aja. Lumayan biar kampung aman. Maling jemuran, maling kelaparan, maling apa pun pokoknya, nggak bakal berani mengganggu warga," kataku.
"Emang, sih, tapi aku takut," sahutnya.
"Takut apa? Oh, iya, kamu, kan, takut lihat kutang. Idih! Lama-lama bakal terbiasa dan kamu pasti menikmatinya. Demi, lho, demi stabilitas ekonomi negara."
"Tetap aja, takuuut.... Macam-macam pula warnanya."
Obrolan kami berakhir dengan kesimpulan, sepupuku tetap takut melihat kutang. Aku cuma geleng-geleng kepala. Tidak adakah topik yang lebih asyik dan seksi daripada kutang?
Ida yang dari tadi diam mendengarkan obrolanku tentang kutang, bertanya dengan tampang aneh dan penasaran.
"Ih, parah! Di kampungmu, kutang-kutang dijadiin apa tadi? Dipajang di jalanan? Tradisi? Aneh! Mengerikan!"
Aku tertawa nyaring. "Wi, kutang itu bahasa kampungku. Bukan bra atau BH, lho! Tapi, anjing!"
"Hah? Jadi, bahasa sana anjing itu kutang. Hahaha...."

Bjm, 271014
*Kutang di Kandangan, Kalimatan Selatan, berarti anjing. Biasanya jadi penjaga kebun. ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar