Selasa, 23 Mei 2017

Adu Opini atau Adu Taji?



Hidup di zaman serba internet membuatku sadar harus punya daya saring dan daya tahan yang kuat. Pintar menyaring informasi dan pintar menahan emosi. Bagaimana caranya? Tentu tidak mudah ketika dunia internet dibanjiri berbagai informasi dari berbagai pikiran dan sumber entah dari mana. Lah, kalau informasinya akurat dan berdasar opini yang cerdas mah tentu kita makin mudah menyaringnya, tapi kalau informasi tak lagi bersumber pada keakuratan, bisakah?

Jawabannya bisa. Tentu hal utama yang harus kita punya adalah kecerdasan memilah informasi dan menahan diri. Wih, siapa sih yang tidak tergoda berkomentar dan aktif bereaksi dengan pemberitaan beberapa bulan ini? Aku saja tergoda. Sangat malah! Membaca status, berita, dan artikel yang berseliweran di beranda medsos rasanya jempol ingin juga deh menyikapinya. Entah itu menge-share dan berpendapat atau sekadar berkomentar setuju dan tidak setuju.


Jempol rasanya gatal kayak gatalnya kepala yang penuh ketombe plus berkeringat. Bisa dibayangkan, kan, bagaimana gatalnya? Namun, lagi-lagi ada hal yang harus aku pertimbangkan sebelum jempol bergerilya. Apa saja sih pertimbanganku?

Pertama, sumber berita valid atau tidak.
Nah, ini yang sekarang sulit banget didapat. Informasi menyebar tanpa tahu dari mana sumbernya. Sekarang, informasi sulit ditebak apakah faktual atau sekadar opini mengira-ngira, bahkan sekadar asumsi berdasarkan pendapat pribadi. Cara paling jitu ya kita harus berpikir secara jernih dan netral sebelum menyimpulkan sesuatu.

Kedua, baca konten berita, bukan siapa yang mengabarkan informasi.
Orang yang sependapat atau bersebarangan pendapat dengan kita belum tentu informasinya benar. Internet bukan hanya sebagai sumber informasi, melainkan sumber menggali informasi lebih jauh. Ini yang sering dilupakan orang-orang. Tahunya membaca informasi, tapi tidak mau menggali lebih jauh. Apabila melihat teman yang sependapat menyebarkan informasi, lalu “latah” ikut-ikutan setuju. Padahal, informasinya belum tentu benar.

Ketiga, pertimbangkan apa efek yang ditimbulkan jika ikut berpendapat langsung.
Di tengah panasnya permasalahan beberapa bulan ini di dunia politik dan sebagainya (tanpa disebut, tahulah ya), aku termasuk orang yang tidak terlalu nimbrung jika ada debat di suatu kolom komentar di medsos. Bahkan, untuk permasalahan lain, aku juga mengurangi keaktifanku. Kenapa? Bukan aku tidak peduli. Sama sekali bukan. Tapi, menurutku, berbaur dengan orang-orang yang sedang berdebat tanpa opini jelas dan mengandalkan emosi semata, itu buang-buang waktu.

Bayangkan, misalnya aku nimbrung di sebuah tulisan yang sebagian besar berkomentar tendensius, mengeluarkan kata-kata kasar dan cacian, lah yang ada situasi semakin memanas. Mau komentar netral? Lah, komentar netral aja dikomentari, “Kamu tidak peduli ya dengan kondisi umat. Kamu itu munafik.” Hehehe…. Susah kali ya. Jadi, lebih baik menghindar deh dari debat panas. Berbagi opini dan pendapat bisa dengan cara lain. Bicara langsung atau bikin tulisan dalam artikel/opini utuh itu lebih baik daripada sekadar saling serang di kolom komentar.

Keempat, berpikir positif.
Tidak bisa dimungkiri, seseorang itu pasti merasa senang jika mendapat teman yang sependapat. Benar, kan? Aku pun begitu. Namun, apakah akan merasa terancam dan tidak nyaman jika berteman dengan orang yang berbeda pendapat? Aku melihat fenomena saat ini semakin sensitif. Contohnya di dunia media sosial, banyak teman yang saling unfriend atau unfollow hanya karena berbeda pendapat. Banyak juga yang saling menjelek-jelekkan hanya karena berpeda pendapat dan pilihan. Lah, sampai kapan pun tidak ada yang berpendapat benar-benar sama, kok. Aku suka kopi, kamu suka kopi. Aku suka kopi pahit, kamu suka kopi sedikit manis. Aku suka makanan bau, kamu juga suka. Aku suka jengkol, kamu sukanya pete. Aku suka jalan-jalan, kamu suka jalan-jalan juga. Aku suka jalan-jalan ke gunung, kamu suka jalan-jalan ke pantai. Tidak ada yang sama persis.

Maka, berpikir postiflah jalan keluarnya. Masa lihat orang yang makan roti, sedang kita makan nasi, lalu kita berpikir orang itu sedang pamer roti? Tentu tidak toh. Atau, aku sedang jalan kaki, terus lihat orang pakai motor, aku berpikir orang itu tidak peduli dengan kondisiku? Tentu tidak. Ish, jika semua yang berbeda dianggap salah dan buruk, maka hancurlah dunia ini sejak lama, Kawan.

Setiap persoalan yang berdasarkan perbedaan interpretasi adalah suatu yang tidak pasti kebenarannya. Siapa yang paling benar? Tidak ada. Si A menafsirkan begini, si B menafsirkan begitu. Semua punya patokan masing-masing. Jika kita merasa benar sendiri, lalu ingin memaksakan pendapat kita ke orang lain, lebih baik hiduplah di alam pikir sendiri, tanpa berbaur dengan orang lain. Sanggup?

Jogja, 220517

Tidak ada komentar:

Posting Komentar