(Sumber: www.seputarpertanian.com) |
Setiap kali aku melihat pohon belimbing wuluh di
depan gang, aku terhempas seperti buah belimbing yang berhamburan di
bawahnya—busuk dan digilas keterasingan. Beratus orang lewat, satu pun tak ada
yang tertarik memetiknya dari batang yang rapuh. Seketika aku ingat barisan
semut di dinding kelas juga teriakan teman-teman mengejar layang-layang.
Kecutnya belimbing wuluh sekecut kekesalanku yang dilarang Ibu untuk tak lagi
ikut mengejar mimpi di langit—layang-layang hitam putih yang tersangkut di
pucuk rumbia.
Setiap kali aku ingin mengambil buah belimbing wuluh
yang jatuh, setiap kali pula tanganku kesemutan dan otakku tak henti berpikir
tentang perbedaan aku dan orang-orang yang hidup di kolong jembatan. Aku ingat
nama-nama di dinding kelas, megah dan penuh kenakalan. Tapi, aku tak tahu nama
siapa saja yang merengek meminta selimut pada Tuhan, malam itu, saat
layang-layang tak berhasil kukejar dan entah singgahkah ia di jendela
gedung-gedung metropolitan.
Setiap kali perutku perih, bukan karena lapar
apalagi kurang jajan, saat itulah aku baru ingat pohon belimbing wuluh itu
tumbuh sendiri, bukan ditanam oleh Pak Guru, Pak RT, Ibu, Ayah, Pak Polisi, Pak
Camat, Bu Dokter, atau Mantri di sebelah rumah. Bukan pula ditanam oleh
penggagas teori-teori ilmu biologi. Kata seorang kakek di gerobak itu, “Pohon
itu tumbuh dari titik keringat para pejalan yang tak punya rumah. Buah-buahnya
jatuh, membusuk, lalu dimakan keinginan yang telah jadi angin. Mengembuskan
aroma sayur asam ke kolong jembatan, ke emperan toko, ke persimpangan jalan, ke
hidung-hidung yang tak lagi peka dengan aroma makanan.”
Hari ini aku meminta Ibu memasakkan sayur asam
sepanci besar. Kupikir kuahnya bisa disiram ke pohon-pohon di sepanjang jalan—termasuk
si pohon belimbing wuluh—sehingga kakek itu tahu sedikit aroma masakan meski
kini kata-katanya telah mengangkasa menghiasi langit kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar