Senin, 29 Agustus 2016

Belimbing Wuluh



(Sumber: www.seputarpertanian.com)

Setiap kali aku melihat pohon belimbing wuluh di depan gang, aku terhempas seperti buah belimbing yang berhamburan di bawahnya—busuk dan digilas keterasingan. Beratus orang lewat, satu pun tak ada yang tertarik memetiknya dari batang yang rapuh. Seketika aku ingat barisan semut di dinding kelas juga teriakan teman-teman mengejar layang-layang. Kecutnya belimbing wuluh sekecut kekesalanku yang dilarang Ibu untuk tak lagi ikut mengejar mimpi di langit—layang-layang hitam putih yang tersangkut di pucuk rumbia.
Setiap kali aku ingin mengambil buah belimbing wuluh yang jatuh, setiap kali pula tanganku kesemutan dan otakku tak henti berpikir tentang perbedaan aku dan orang-orang yang hidup di kolong jembatan. Aku ingat nama-nama di dinding kelas, megah dan penuh kenakalan. Tapi, aku tak tahu nama siapa saja yang merengek meminta selimut pada Tuhan, malam itu, saat layang-layang tak berhasil kukejar dan entah singgahkah ia di jendela gedung-gedung metropolitan.
Setiap kali perutku perih, bukan karena lapar apalagi kurang jajan, saat itulah aku baru ingat pohon belimbing wuluh itu tumbuh sendiri, bukan ditanam oleh Pak Guru, Pak RT, Ibu, Ayah, Pak Polisi, Pak Camat, Bu Dokter, atau Mantri di sebelah rumah. Bukan pula ditanam oleh penggagas teori-teori ilmu biologi. Kata seorang kakek di gerobak itu, “Pohon itu tumbuh dari titik keringat para pejalan yang tak punya rumah. Buah-buahnya jatuh, membusuk, lalu dimakan keinginan yang telah jadi angin. Mengembuskan aroma sayur asam ke kolong jembatan, ke emperan toko, ke persimpangan jalan, ke hidung-hidung yang tak lagi peka dengan aroma makanan.”
Hari ini aku meminta Ibu memasakkan sayur asam sepanci besar. Kupikir kuahnya bisa disiram ke pohon-pohon di sepanjang jalan—termasuk si pohon belimbing wuluh—sehingga kakek itu tahu sedikit aroma masakan meski kini kata-katanya telah mengangkasa menghiasi langit kota

Jogja, 250816

Tidak ada komentar:

Posting Komentar