Jumat, 01 April 2016

Sosialisasi Nasionalisme adalah Bagian Tugas Netizens



Bulan Juli 2016 nanti, usiaku tepat tiga puluh tahun. Apa tidak terasa? Terasa sekali, dong. Masa tua tidak terasa? Tapi, Mamak tidak pernah menganggapku tua, lho. Setahun lalu saja Mamak bilang umurku 23 tahun. Serius! So, dengan dukungan Mamak, jangan kaget bila aku selalu merasa manis dan tak jauh beda dengan mahasiswa-mahasiswi yang kutemui saat Gathering Netizens dengan MPR RI beberapa waktu lalu. Uhuk!
Sarapan bersama para mahasiswa UTY. Aku yang mana? #banggajelang30. :p
Jelang usia 30 tahun, membuatku berpikir apakah sudah menjadi manusia yang yanfa’ulinnas? Sudahkah menjadi manusia yang bermanfaat pada sesama? Sudahkah menjadi manusia yang tidak hanya sibuk menghitung materi, melainkan sibuk berbagi? Sudahkah menjadi salah satu rakyat Indonesia yang benar-benar cinta tanah air? Apa yang sudah aku lakukan untuk bangsa dan negara? Apa pembuktian yang kulakukan demi mengisi kemerdekaan?
Aku tulis, aku kalkulasi, aku hitung sedetail mungkin. Ah, selama ini aku termasuk kategori manusia yang sibuk sendiri, berdiam diri di ruang pengap bernama egois. Banyak kota yang sudah kukunjungi, tapi adakah yang kudapat selain penat dan foto-foto narsis? Banyak warna kehidupan dan berbagai tipe manusia yang kutemui, sudahkah aku mendapat hikmah dan memperbanyak kebijaksanaan dalam hidup?
Pak Zulkifli Hasan (Ketua MPR RI) dan Sekjen di acara Gathering Netizens, hari pertama, 18 Maret 2016, Hotel Eastparc Yogyakarta
Tinggal di negara yang pluralisme seperti Indonesia membuatku terus belajar makna perbedaan. Tak hanya perbedaan suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, tapi juga perbedaan ekonomi, sosial, pendidikan, dan pola pikir. Semua sisi kehidupan masyarakat Indonesia sangat majemuk. Maka, sampai sekarang, jika ada yang menyulut masyarakat Indonesia dengan alasan hal-hal tersebut, gampang sekali, bukan? Tinggal “nyalakan kompor” di beberapa titik (di medsos ataupun di daerah yang rawan konflik), maka berkobarlah konflik tiada ujungnya. Ya, kita tidak bisa menampik masih banyak masyarakat yang gampang dikompori hal-hal tersebut.
Lalu, sebagai seorang gadis manis menjelang usia tiga puluh, apa yang sudah kulakukan agar senantiasa menjaga kedamaian di tengah masyarakat yang plural? Apa, Edib, apa? #mulailebay Oke, aku hafal lagu nasional, dari Indonesia Raya hingga Gugur Bunga. Aku hafal lagu daerah, dari Ampar-ampar Pisang sampai Sajojo. Aku hafal mantan, dari ujung Jawa sampai Sumatera. #mulaingawur. Skip! #abaikan
Foto bersama Pak Zulkifli Hasan
Mengenal bangsa Indonesia tak cukup sekilas pandang. Pernah memelototin foto kekasih? Hayooo ngaku, pasti dipelototin dari ujung pigura atas sampai pigura bawah. Kalau ada debu, dibersihin sama tisu basah. Zaman sekarang, kan, gampang tinggal pelototin layar Hp. Mau disotosop, eh diedit di photoshop biar tambah ganteng/cantik juga gampang banget. Aih! Begitu juga dengan Indonesia. Tak bisa kita hanya melihat Indonesia lewat satu kacamata dan satu sudut saja. Melihat Indonesia tak cukup melihat orang Jawa saja atau tak cukup melihat orang Kalimantan saja. Melihat Indonesia tak cukup hanya dengan melihat agama mayoritas atau suku mayoritas. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas di Indonesia.
Dalam acara Gathering Netizens dengan MPR RI kemarin, aku seperti diingatkan kembali tentang nasionalisme. Aku seperti direfresh kembali tentang semangat mengisi kemerdekaan. Aku merasa ditampar, lalu bergumulanlah pertanyaan-pertanyaan seperti yang kutulis di atas. Pertanyaannya sekarang, apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu?
Kita lihat, semakin maraknya media sosial, semakin marak pula perperangan opini yang berakhir dengan perperangan caci maki. Semua orang merasa bebas memaki berlandaskan “kebebasan”. Sebagai seorang netizens yang tentunya berkecimpung di dunia media sosial, aku merasa terpanggil untuk bergerak dan beraksi.
Seorang netizens itu memang penggiat media sosial, tapi netizens juga bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah, negara secara umumnya, dalam menyampaikan pesan-pesan nasionalisme. Ada yang tidak hafal Pancasila? Aku yakin pasti semua hafal sejak usia TK. Apa makna Pancasila? Sudahkah kita mengamalkan isi Pancasila di setiap sendi kehidupan?
MPR RI yang dulu merupakan lembaga tertinggi negara (duh, aku baru tahu MPR bukan lagi lembaga tertinggi) mulai “bergerilya” menyebarkan virus nasionalisme lewat sosialisasi 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Empat pilar itu memang harus disosialisasikan ke segenap penjuru, ke suluruh rakyat Indonesia.
Bersama pemateri hari kedua: Pak TB Soemandjaja, 19 Maret 2016, di Hotel Eastparc Yogyakarta
Apa tujuan sosialisasi yang gencar dilakukan MPR RI? Semua itu tidak lain karena melihat fenomena yang terjadi saat ini. Sekiranya nilai dalam empat pilar itu menjadi pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara, tentu konflik-konflik dapat berkurang. Sekiranya nilai empat pilar itu terpatri dalam setiap jiwa raga setiap rakyat Indonesia, tentu tidak ada lagi manusia yang enggan berbagi kepada sesama.
Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah hal yang riskan apalagi hal yang harus dipaksakan sama. “Perbedaan itu indah”. Jika dipaksakan harus sama, betapa anehnya dunia. Bayangkan, kita tidak bisa membedakan mantan 1 dan mantan lainnya. #alamak! Mantan lagi.
Jadi, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas apa, Dib? Dari tadi muter-muter saja. Jawabannya, tidak ada yang tidak bisa dilakukan di dunia ini. Oke? Setuju? Nah, tidak usah muluk-muluk melakukan hal yang dirasa sulit. Mulailah dari hal yang dekat dengan pribadi kita. Karena aku seorang netizens alias penggiat media sosial alias sebutlah aku blogger (cieee, sudah jadi blogger nih ye!), maka aku harus menyebarkan rasa nasionalisme lewat tulisan! Itu wajib hukumnya! Siapa bilang menjadi netizens tidak bermanfaat kepada sesama? Perkembangan teknologi informasi semakin maju, maka penyebaran informasi lewat media sosial dan blog adalah salah satu cara yang efektif.
Namun, sosialisasi ini juga diharapkan menyebar ke pelosok yang “miskin” jangkauan internet. Masih banyak rakyat Indonesia yang gagap teknologi dan tidak aktif di media sosial, ini objek sosialisasi yang tidak bisa dilupakan. Tidak kalah penting, generasi bangsa alias anak-anak sekolah juga harus dijejali semangar nasionalisme. Tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Oke, sekarang tidak perlu lagi aku galau dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Lakukan yang bisa dilakukan sekarang. Yuk berbuat untuk negeri!
Salam cinta tanah air!

Jogja, 010416

  

2 komentar:

  1. Duh, jadi ikut bertanya pada diri sendiri, apa yg sudah kusumbangkan utk bangsa sbg wujud nasionalisme ya

    BalasHapus
  2. salam cinta tanah air mbak, semangat!

    BalasHapus