Jumat, 04 Maret 2016

Menunggu Hasil Akhir Kasus Jero Wacik



Tanggal 9 Februari 2016, vonis terhadap Jero Wacik dibacakan oleh hakim. Pada sidang sebelumnya, jaksa penuntut umum dari KPK menuntut hukuman selama sembilan tahun. Namun, majelis hakim memutuskan hukuman empat tahun. Hakim juga memutuskan membuka kembali rekening Jero Wacik, istri, dan anaknya yang telah diblokir KPK. Hakim juga memerintahkan KPK mengembalikan properti milik Jero Wacik. Semua harta itu terbukti dimiliki Jero Wacik sejak sebelum menjabat sebagai menteri (sebelum tahun 2004).
 
Sumber: kompas.com
Menyimak kasus Jero Wacik, membuat saya belajar arti sebuah kepemimpinan, tanggung jawab, dan konsekuensi. Banyak pemberitaan yang menyebutkan vonis empat tahun, denda 150 juta rupiah, dan mengganti uang negara sebesar 5,07 miliar rupiah, adalah karena Jero Wacil benar-benar korupsi. Benarkah demikian? Yang jadi pertanyaan juga, apakah pemberitaan itu benar-benar objektif berdasarkan hasil mengikuti jalan persidangan?
Ternyata, vonis hakim itu hanya sebagai konsekuensi seorang menteri yang lalai mengontrol bawahannya. Hakim menganggap Jero Wacik sebagai pengguna anggaran lalai mengawasi bawahannya dalam penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Tuduhan pemerasan jelas tidak terbukti meski jaksa penuntut umum tetap ngotot dengan berbagai tuduhan. Tuntutan hukuman sembilan tahun pun mereka layangkan tanpa melihat bukti-bukti dan saksi-saksi dalam persidangan.
Tidak bersalah mutlak, kenapa divonis empat tahun? Kalau saya jadi Jero Wacik, mungkin akan banding. Tapi, mengingat Jero Wacik adalah seorang pimpinan, jelas dia harus menerima konsekuensi hukuman. Apakah Jero Wacik menolak hukuman itu?
“Pelajaran buat saya, menteri lain juga, agar mengontrol anak buah dengan baik,” ucap Jero Wacik.
Jero Wacik menerima hukuman itu. Hingga detik ini, tidak ada niat banding dari Jero Wacik untuk sekadar meringankan hukuman. Sebaliknya, pihak jaksa penuntut umum berniat banding dan mempertahankan hukuman sembilan tahun untuk Jero Wacik.
Seperti diketahui bersama, Jero Wacik didakwa melakukan pemerasan kepada anak buahnya, dituduh menggunakan DOM untuk keperluan pribadi dan keluarga, hingga tuduhan menggunakan uang negara untuk pencitraan pribadi. Di dalam persidangan tuduhan itu tidak terbukti. “Pencitraan” yang dimaksud bukan pencitraan pribadi, melainkan “pencitraan” lembaga Kemenbudpar (bisa dibaca di sini). Dengan banyaknya saksi dan bukti, tuduhan-tuduhan itu gugur dengan sendirinya.
Di dalam proses persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum meminta bukti-bukti kuitansi penggunaan DOM. Padahal, menurut Jusuf Kalla, saksi yang dihadirkan Jero Wacik dan pengacaranya, menteri, dalam hal ini Jero Wacik, hanya menerima DOM secara lumsum, artinya diberikan sekaligus dan tidak perlu perincian sedetail sekian juta untuk tiket pesawat, misal. Belum lagi tuduhan pencitraan pribadi Jero Wacik. Tuduhan itu pun gugur setelah pihak Indopos hadir sebagai saksi.
Dalam pembacaan tuntutan 9 tahun, jaksa penuntut umum seperti tutup mata dan telinga dengan saksi-saksi dan bukti-bukti di persidangan. Lah, apa gunanya persidangan kalau mereka mengabaikan saksi-saksi dan bukti-bukti?
Menurut ajaran agama yang saya anut, seorang kepala rumah tangga (suami) adalah imam dan penanggung jawab keluarganya di dunia dan akhirat. Jadi, suami berperan penting dalam membimbing istri dan anak-anaknya, mengarahkan keluarga menjadi manusia yang beriman dan tidak melenceng ajaran Tuhan, serta mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Tuhan.
Begitu pun ketika Jero Wacik dihadapkan pada masalah tuduhan korupsi ini. Sebagai mantan menteri yang pernah menjabat selama sepuluh tahun, apa pun yang terjadi kemudian, dia tidak bisa lepas tangan begitu saja. Bagaimana pun, Jero Wacik masih punya tanggung jawab sebagai pemimpin. Kasus ini sendiri bermula dari kasus korupsi Sekjen Kementerian ESDM, Waryono Karno, yang kemudian menyeret nama Jero Wacik untuk ditahan dan disidangkan sebagai tersangka.
Andai Jero Wacik tidak merasa bertanggung jawab dengan ulah anak buahnya, bisa saja Jero Wacik terus menghindar dari proses hukum. Lah, wong tidak merasa bersalah kok mau-maunya menjalani persidangan yang otomatis mencoreng nama baiknya dan mengurasi energi dan mental. Bahkan, ketika divonis empat tahun penjara, Jero Wacik merasa bahagia. Dia bahagia karena hakim mempertimbangkan saksi dan bukti di persidangan. Menurutnya, dia memang bersalah karena menganggap enteng DOM atau tidak mengerti masalah administrasi dana. Orang sesibuk Jero Wacik semasa jadi menteri, tentu tidak pernah ngeh mengurus administrasi, yang tentunya banyak staf kementerian yang mengurusnya. Anehnya, menurut saya, DOM dipermasalahkan setelah Jero Wacik tidak menjabat menteri lagi, yang dulu masalah penggunaan DOM ini bahkan lolos audit BPK.
Kita lihat bagaimana kasus ini berlanjut. Jaksa penuntut umum akan melakukan banding dan tetap menuntut sembilan tahun untuk Jero Wacik. Bagaimana pun akhirnya, semoga keputusan majelis hakim benar-benar adil untuk semua pihak. Amin.

Jogja, 030316

Referensi:
https://news.detik.com/berita/3137837/hakim-perintahkan-sebagian-aset-rekening-dan-properti-jero-wacik-dibuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar