Rabu, 30 Maret 2016

Antara Aku, Keluarga Kandung, dan Keluarga Jauh

Sudah setahun aku merantau ke kota gudeg ini. Rasa kangen kerap menderaku, tak peduli pagi, siang, atau malam. Tak peduli di kantor atau di jalanan. Tapi, di kantor mah tidak terlalu dipikirkan karena sibuk kerja. Keluyuran di jalanan dan ke beberapa kota adalah salah satu caraku menyimpan kangen. Kalau berkurung diri saja di kamar kos sewaktu liburan, dijamin bakal kangen sesak. Ahiks!

Kata sebagian orang, "Perasaan sayang akan semakin terasa saat sedang berjauhan." Ini benar banget. Namun, bukan berarti kalau berdekatan sayangnya berkurang. Ibarat angkot, jauh dekat lima ribu. Jauh dekat tetap sayang. Oh, angkooot! 😅



Keluargaku bukan tipe "romantis", yang selalu ada perayaan atau sekadar ucapan selamat setiap ada yang ultah. Bukan pula tipe yang selalu saling bertanya kabar, apalagi kalau berjauhan seperti ini. Hal ini sudah kurasakan sejak zaman kuliah. Oh iya, sejak kuliah sebenarnya aku sudah merantau. Sebulan sekali Mamak, Abah, atau saudara meneleponku sudah untung banget. Tapi, yang kutahu, mereka selalu sayang padaku. Ehem!

Aku anak ke-6 dari 8 bersaudara, tapi sisa 7 orang. Anak ke-2 sudah meninggal tahun 2008 silam. Keponakanku ada 10 orang, tapi sisa 9 orang. Cucu tertua Abah Mamak meninggal dua tahun silam. Aku beruntung dibesarkan oleh Mamak Abah yang sangat memperhatikan keluarga, bahkan keluarga jauh sekalipun. Jika sebagian keluarga lain ada yang tidak tahu-menahu siapa keluarga jauh (hingga sepupu sepuluh kali, bahkan. :D ), Abah dan Mamak justru sebaliknya.

"Aku aja nggak hafal dan nggak ingat siapa keluarga jauhku, lah Abahmu itu tahu semua," kata Mamak. Ucapan yang sama juga diucapkan Paman dan Acilku (Acil: panggilan tante dalam bahasa Banjar). Sebab itulah, sejak dulu, Abah sering dipinta tolong menyebarkan undangan perkawinan atau acara lainnya. Abah hafal semua nama dari A-Z, dari sepupu sekali sampai sepupu sepuluh kali, dari ujung kampung ke ujung kota. :D

Sering kalau aku dan keluarga datang ke acara perkawinan atau syukuran, Mamak dan Abah mengenalkan kerabat lainnya. "Ini sepupumu, anak Paman Amin." Atau, "Ini lho nenekmu, sepupu kakek." Lah, Paman Amin saja aku tidak kenal atau lupa mungkin. Entah sepupu kakek berapa kali itu. Kadang juga yang dibilang "nenek" itu usianya sama dengan Kakak. :v

Dari kedelapan saudara, yang paling menurun sikap Abah yang supel itu cuma Abang nomor 4. Sikap itu muncul karena kebiasaan yang sama. Pertama, supel. Abah suka menyapa orang yang baru bertemu sekalipun. Kedua, berusaha selalu menghadiri undangan orang lain. Wah, ini kadang yang lalai aku dan saudara-saudaraku lakukan. Apalagi kalau undangan perkawinan banyak sekali di hari Minggu, faktor lelah sering membuat kami mengabaikan undangan. Nah, kalau Abah pasti diusahakan hadir meski tempatnya jauh.

Ketiga, Abah selalu mengunjungi keluarga yang sakit dan meninggal dunia. Maka, jangan heran, sampai dokter dan perawat pun hafal siapa Abah, bahkan pasien sebelah ruangan. :D Selain tujuannya mendoakan si sakit dan menjaga tali silaturahmi, tapi juga membuka persaudaraan baru.

Keempat, Abah sering berkunjung ke keluarga tanpa sebab apa-apa. Maksudnya, ya sekadar berkunjung tanpa modus pinjam duit, misal. Wkwkwk. Sampai-sampai ada kerabat jauh yang tiba-tiba datang ke rumah hanya karena Abah lama tidak mengunjungi rumahnya.

Sikap Abah yang sangat perhatian ke keluarga jauh itu terasa sekali manfaatnya. Banyak keluarga yang merasa dekat sekali dengan keluarga kami, bahkan seperti dianggap keluarga kandung. Yang paling terlihat kalau kami mengadakan acara perkawinan (perkawinan saudara-saudaraku) dan syukuran. Undangan yang datang pasti bejibun. Tetangga sering heran kenapa setiap kami mengadakan acara, di depan gang selalu berderet mobil-mobil, dari mobil biasa sampai mobil mewah. Padahal, siapalah Abah. Pejabat, bukan, ulama, bukan, punya istri cuma satu. Wkwkwk. Ini kadang jadi joke di keluargaku. Sewaktu Abah sakit saja, setiap hari ada saja yang bertamu. Aku saja kadang tidak kenal siapa saja yang besuk.

Rasa saling menyayangi dan memperhatikan keluarga juga Abah tanamkan padaku dan saudara-saudaraku. Jika ada satu yang tertimpa masalah, saudaranya lainnya tidak boleh tutup mata. Jika ada saudara yang masih sulit ekonominya, saudara lain yang mampu harus membantu dan tidak boleh senang-senang sendiri. Egois benar-benar dihilangkan. Persaudaraan dieratkan dengan saling berbagi.

Jauh dengan keluarga mengajarkan arti kasih sayang sesungguhnya. Membuka silaturahmi dengan keluarga jauh lewat saling berkomunikasi dan berkunjung juga sangat bermanfaat, lho. Ada satu kerabat yang akrab dengan Abah. Bahkan, katanya, keluarga kandung mereka saja tidak seakrab dengan Abah. Suami-istri itu sampai berucap ke Abah dan Mamak, "Kalian jangan meninggal dulu sebelum memandikan kami berdua." Atas izin Allah, mereka berdua meninggal lebih dulu. Sampai sekarang, anak-anak sampai cucu mereka akrab dengan kami.

Ada juga satu keluarga yang sudah menganggap Abah seperti saudara kandung, padahal hubungan kami cuma sepupu yang jauuuh sekali. Sampai-sampai, ketika mereka tahu aku tinggal di Yogyakarta, mereka menawarkanku satu rumah untuk ditempati. Karena rumah itu sangat jauh dari kantor, aku tidak bisa menempatinya.

Banyak sekali manfaat bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Kalau diceritakan semuanya di sini tidak cukup satu postingan. :D Yang jelas, aku selalu berusaha membangun hubungan baik dengan keluarga kandung, menjalin keromantisan yang sempat terputus, dan terus menciptakan kebersamaan. Bagaimana pun, keluarga adalah tempat berpulang yang nyaman setelah kita lelah berjalan.

Salam sayang selalu.


Jogja, 300316 


2 komentar:

  1. waktu kecil aku kalau libur sama ibuku suka dikirim ke rumahs audara untuk berlubur sekalian mengenal saudara. jadi sekarang akrab dg saudara

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menyenangkan sekali bisa dekat dgn saudara, ya, mbak. ;)

      Hapus