MANUSIA sangat
perlu refreshing di tengah rutinitas yang kadang membosankan. Refreshing tidak
hanya dilakukan di pantai, gunung, mal, taman, dan sebagainya, tapi bisa juga
di sebuah tempat yang jarang dikunjungi. Seperti yang aku lakukan hari Minggu
kemarin. Aku secara khusus meluangkan waktu untuk bersesak-sesakan di sebuah pasar
tradisonal Banjarmasin, yaitu Pasar Ahad Kertak Hanyar Pal 7.
Gerbang Pasar Ahad. Lupa difoto. Foto ini saja yang sumbernya Google, sedangkan foto yang lain hasil candid sendiri. :D |
Sebenarnya pasar ini buka tiap hari, tapi hari Ahad (Minggu) lebih ramai pedagang dan pembeli. Pasar ini dijadikan tempat finish pelari Banjarmasin, eh, masyarakat Banjarmasin di setiap hari Minggu. Dulu waktu sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, setiap Minggu pagi, aku sering lari pagi bersama teman-teman. Jarak rumah ke Pasar Ahad sekitar empat kilometer. Kalau sekarang, sih, menyerah sebelum bertempur. Paling aku cuma naik sepeda sendirian, naik angkot, atau naik motor dengan adik.
Jam di ponsel
sudah menunjukkan angka sepuluh ketika aku sampai di pasar. Pasar masih ramai. Cuaca panas dan tanah lumayan
becek sebab hujan malamnya, tak membuat nyaliku ciut untuk mengelilingi pasar.
Berbagai dagangan dijual di sana, dari buah-buahan lokal, hewan peliharaan
(ayam, bebek, kucing, kelinci, ikan hias, dan burung), berbagai kuliner khas
Banjar, pakaian, peralatan rumah tangga, jasa mainan (odong-odong), dll.
Aku bergegas mencari
makanan dulu karena belum sarapan. Banyak pilihan makanan di sini. Tinggal pilih saja mau penganan
atau makanan berat (tentunya harus bayar, ya!). Apam serabi dan lupis (penganan
dari ketan) banyak dijual di warung-warung kecil. Kue-kue basah pun banyak
macamnya, seperti amparan tatak, patah, kue lapis, jaring (jengkol), dll.... Tak
ketinggalan menu sarapan primadona khas
Kalimantan Selatan, yaitu nasi kuning sambal habang dan ketupat kandangan
(ketupat berkuah santan dan lauk ikan haruan alias gabus). Kali ini aku tertarik dengan menu
makanan lainnya, yaitu bubur ayam di pojok pasar. Aku lihat banyak yang makan
di warung itu, jadi perkiraanku mungkin buburnya enak. Ternyata benar-benar
enak. Semangkuk bubur habis kulahap.
Setelah itu,
aku berburu buah-buahan lokal dan langka. Kebetulan ada buah bundar, jejantik, limau kuit, dan ramania (gandaria). Bundar adalah buah
khas Banjar dengan warna daging seperti daging manggis, tapi teksturnya lebih kres (renyah). Kulitnya berwarna merah
cerah dan rasanya manis agak masam. Jejantik adalah salah satu buah hutan
Kalimantan. Ukuran buahnya kecil seperti kelereng. Bentuk dagingnya beruas-ruas
dengan warna kuning. Sebuah kenikmatan jika jejantik ini rasanya manis. Rasanya
sering kecut alias asam. Buah lainnya lagi adalah ramania atau gandaria. Bila
masih muda, kulit ramania berwarna hijau dengan rasa yang sangat kecut. Sering
dijadikan bahan membuat sambal terasi. Bila sudah ranum, kulit ramania berwarna
jingga dan rasanya agak manis. Keunikan buah ramania adalah bijinya yang
berwarna ungu. Limau kuit, buah jenis jeruk berasa asam ini sering dijadikan bahan campuran sambal terasi. Kulitnya keras, kasar, dan berwarna hijau. Aromanya sangat khas dan segar! Bila tidak musimnya, buah ini sulit didapat di pasaran dan mahal banget, lho.
Berbagai buah-buahan dan kue khas Banjar, termasuk jaring alias jengkol. |
Buah lainnya
yang kubeli adalah tiwadak alias cempedak. Pernah mendengar ungkapan “cempedak
berbuah nangka”? Entah apa artinya ungkapan itu. Yang jelas, tiwadak dan nangka
masih satu spesies. Ini dilihat dari kemiripan bentuk buah, dari kulit, daging
luar, daging dalam, hingga biji. Tiwadak bagi masyarakat Banjar sangat
multimanfaat. Semua bagian buah bisa dimakan, kecuali kulit berdurinya. Daging luar
diasinkan menjadi mandai, lauk makan
yang rasanya maknyus. Selain enak dimakan langsung, daging dalamnya yang
berwarna kuning juga enak dibuat gorengan. Bijinya bisa direbus atau digoreng. Di
Kalimantan Selatan lagi musim buah tiwadak. Si raja buah alias durian juga
merajai musim buah. Saking membanjirnya, aku sampai enek mencium aroma buah
durian. Ups! Bukan enek, sih, tapi karena aku memang tidak suka durian.
Tanganku sudah penuh bungkusan plastik berisi buah bundar, cempedak, jambu biji merah, dan ubi jalar. Jejantik tidak jadi kubeli. Berdasarkan pengalaman, warna kulitnya yang masih ada garis-garis hijau, membuktikan buah itu sangat asam. Perut kenyang dan keringat mulai membasahi baju kausku. Aku kembali ke gerbang depan pasar. Melewati pedagang-pedagang hewan, aku tertarik mengambil foto hewan berbulu bernama kucing persia. Aku bertanya harga itu kucing kepada penjualnya. Kucing persia berumur dua bulan harganya 600.000, sedangkan yang berumur enam bulan seharga satu juta rupiah. Tidak mungkin aku membelinya (lirik isi dompet).
Tanganku sudah penuh bungkusan plastik berisi buah bundar, cempedak, jambu biji merah, dan ubi jalar. Jejantik tidak jadi kubeli. Berdasarkan pengalaman, warna kulitnya yang masih ada garis-garis hijau, membuktikan buah itu sangat asam. Perut kenyang dan keringat mulai membasahi baju kausku. Aku kembali ke gerbang depan pasar. Melewati pedagang-pedagang hewan, aku tertarik mengambil foto hewan berbulu bernama kucing persia. Aku bertanya harga itu kucing kepada penjualnya. Kucing persia berumur dua bulan harganya 600.000, sedangkan yang berumur enam bulan seharga satu juta rupiah. Tidak mungkin aku membelinya (lirik isi dompet).
Belanjaan murah meriah |
Bundar |
Bjm, 090315
Tidak ada komentar:
Posting Komentar