Rabu, 14 Desember 2016

Penjual Sapu



Sumber gambar: http://banjarmasin.tribunnews.com


Di sebuah pos ronda, seorang bapak duduk sembari menyedot es teh dari plastik. Sapu-sapu masih tersusun rapi di samping tubuhnya. Iseng aku hitung jumlahnya sembari memperlambat jalanku. Ada dua belas sapu. Pas satu lusin. Entah sudah adakah yang laku atau tidak.
Seketika aku teringat sekolahku dulu di sebuah gang di kawasan padat bernama Kelayan. Orang Banjarmasin tak mungkin tak kenal Kelayan. Kawasan padat yang hampir tak ada celah atau jarak antara satu rumah dan rumah lainnya. Di dekat sekolahku, banyak pengrajin sapu ijuk. Setiap hari pasti aku melewati tumpukan ijuk di pekarangan yang tak seberapa luas.
Seketika aku teringat sapu di rumah yang tak berbahan ijuk, tapi plastik. Sapu plastik produksi pabrik. Jika disuruh memilih apakah sapu ijuk atau sapu plastik, kamu pilih yang mana, Kawan? Kata temanku, “Aku beli sapu plastik aja. Lebih awet dan nggak rontok.” Aih, Kawan, rupanya permasalahan rontok tidak hanya menyangkut rambut atau dana di pemerintahan, kerontokan sapu pun menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan.
 “Lantas, kamu pilih yang mana?” tanya temanku.
Aku bingung mau pilih yang mana. Kamu tahu, aku terlalu sibuk mempertimbangkan apakah aku harus menyapu atau tidak. Sebab, ada satu sudut yang selalu lupa aku sapu. Ketika aku sudah terbatuk-batuk sebab debu makin menebal, aku tak jua menganggap menyapu sendiri sudut itu begitu penting. Aku malah makin sibuk menjadi mandor tukang sapu. “Bapak, sapu lantai itu!”; “Ibu, kenapa lantai ini masih kotor. Sapunya jelek?”; “Banyak debu dan pasir. Apa lama tidak disapu?”; atau “Sapulah rumahmu biar enak dilihat.” Ya, aku makin sibuk memandori orang-orang, sedangkan aku abai dengan kewajiban menyapu sendirian.
“Beli sapu, Mbak?” tanya si Bapak. Rupanya jalanku tak lagi melambat, melainkan aku terdiam sembari menggigiti kuku jemari tangan. Si Bapak tak lagi memegang bungkusan plastik berisi es teh tadi. Malah bungkusannya melayang tak jauh di samping kakinya. Ingin aku berucap, “Pak, itu ada tempat sampah.” Ah, aku lagi-lagi tergoda menjadi mandor ketika melihat orang bertindak tak sesuai koridor. Aku tak lagi ingat soal lantai kamar yang semakin kotor dan sudut-sudut hatiku yang semakin penuh debu.

Jogja, 151216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar