Jumat, 02 Oktober 2020

Pasar Beringharjo dan Seni Tawar-menawar

Pasar Beringharjo. Bejubel pedagang, bejibun pula pembelinya. Karena terlalu bejubel inilah, aku jarang belanja di Pasar Beringharjo. Faktor lainnya, sih, aku tidak begitu jago menawar harga. 


"Tawar separo harga, Mbak. Aku biasanya, sih, nawar sampai 70%," saran temanku sebelum aku belanja.

Inilah sulitnya. Kadang rasa tidak enak muncul saat mau menawar harga. Demi dapat harga murah, ya sudahlah. Mulailah bermain seni menawar harga.

"Dasternya berapa ya, Bu?" Kupilih daster buat Mamak. Daster batik panjang dan berwarna cokelat muda. Kualitasnya lumayan bagus, menurutku.

"Ini 250 ribu, Mbak."

Terdiam sekian detik. Dalam hati, "Tawar berapa, ya?"

"Bisa 150 ribu aja?"

"Tambahin lagi, Mbak."

"Hmmm...." Mikir mulu. Pantas kerutan makin banyak, rambut kian rontok, rindu tambah kuat... ups! 

"Tambahin 30 ribu. 180 ribu aja."

"170 ribu deh. Gimana?"

Proses tawar-menawar selesai. Uang 170 ribu sudah berpindah tangan ke ibu penjual.

"Berapa?" tanya teman.

Kuceritakan proses tawar-menawar tadi.

"Hadeeeh.... Kan udah kubilang tawar 50% atau lebih. Ini mah 130 ribu paling mahal di toko lain."

Senyum-senyum sajalah. Kemampuanku dalam tawar-menawar masih level satu. Aih, persis kemampuan makan ayam geprek. Kuat di level satu saja. Terkadang hidup memang begitu. Bukan masalah untung atau rugi, tapi keikhlasan untuk berbagi. 


Jogja, 011020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar