Selasa, 19 Januari 2016

Sungai Guring


“Bah, kenapa, sih, sungai di depan gang itu dinamakan Sungai Guring?” tanyaku saat aku masih kelas 3 SD.
Aku sangat penasaran dengan nama itu. Guring dalam bahasa Banjar artinya tidur. Masa sungainya tidur? Apa sungainya habis minum obat tidur? Jangan-jangan dulu di sini ada pabrik obat tidur? Apa mungkin Putri Tidur dulu tinggalnya di sungai itu? Imajinasiku meliar. Rasa penasaranku hanya dibalas senyuman oleh Abah. Aku cemberut saja. Kata Mamak, dibanding dengan tujuh saudaraku yang lain, aku anak yang paling “bawel” bertanya dan berkomentar. Pantaslah, wong aku anak cerdas. (Ups! Skip!)
“Mau tahu ceritanya?”
Aku cuma mengangguk. Aku duduk bersila sembari mengunyah dulinat buatan Mamak. Dulinat adalah kue yang terbuat dari parutan singkong, diisi gula merah, lalu digoreng.
“Sungai Guring ini sungai kecil. Letaknya juga terpencil. Sungai ini nyambung ke Sungai Kelayan, Sungai Martapura, sampai Sungai Barito. Sebelum ada rumah-rumah, kampung kita ini hanyalah hutan rawa yang penuh pohon rumbia. Saking terpencilnya, tempat ini dulu sering dijadikan tempat persembunyian maling-maling. Awalnya, maling-maling itu kabur membawa barang curian dengan naik jukung. Karena kecapaian, maling-maling itu tertidur di dalam jukung hingga sampailah di ujung sungai yang sepi tidak ada rumah satu pun. Sejak itu, sungai dan kampung ini dijadikan tempat persembunyian para maling. Makanya, dinamakan Sungai Guring,” cerita Abang panjang lebar.
 “Oooh, begitu….” Aku manggut-manggut. Jukung itu semacam perahu tanpa mesin. Kalau yang pakai mesin, orang Banjar menyebutnya kelotok.
   
        “Loh, kok mau-maunya dinamakan Sungai Guring. Kan sejarahnya jelek banget,” komentarku.
“Sungainya tidak pernah protes ini,” jawab Abah sembari tertawa.
Betul juga. Memang sungai pernah bisa protes diberi nama jelek dengan sejarah yang jelek pula? Memang sungai bisa teriak “Aku tidak mau dikasih nama Sungai Guring!!!”? Hehe, ada-ada saja.
“Lah, terus sekarang masih ada maling-maling yang sembunyi di kampung kita, Bah?” tanyaku lagi. Ngeri juga kalau kampungku jadi sarang maling.
“Ya jelas tidak ada lagi. Kan sudah banyak rumah. Sudah jadi kampung. Si maling juga bakal takut dikeroyok orang-orang kampung,” kata Abah.
Revitalisasi Sungai Guring November 2015 kemarin. (sumber: di sini)
Sekali lagi aku manggut-manggut. Rupanya imajinasiku meleset semua. Tidak ada putri tidur, apalagi polisi tidur (Kalau sekarang mah banyak polisi tidur di jalan-jalan). Tidak ada pabrik obat tidur, apalagi pabrik obat pemusnah jomblo. Ingat, tidak ada itu! (Topiknya mulai sensitif. Pletak!)
Begitulah sejarah Sungai Guring di kampungku. Namun, sudah bertahun-tahun, Sungai Guring tak lagi tidur, melainkan mati! Ya, sungai itu sudah mati. Hiks, betapa sedihnya hatiku ketika pulang liburan kuliah sekian tahun lalu, yang tampak hanya sungai serupa selokan. Miris, duh, miris banget. Tidak ada lagi jukung, tidak ada lagi kelotok, tidak ada lagi anak-anak yang berenang, tidak ada lagi ikan-ikan, tidak ada lagi ibu-ibu yang mencuci pakaian, bahkan tidak ada lagi jamban.
Dulu, cerita tentang maling itu awal sejarah Sungai Guring. Sekarang, maling apakah yang membuat sejarah Sungai Guring mati? Hmmm, bertanya sama Abah? Paling Abah cuma bernyanyi, “Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang.” Mungkin aku perlu bertanya pada jalan tol dan perumahan itu. Tapi, mereka paling cuma menangis tersedu, “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku.”
Ah, sudahlah, lama-lama semua lagu jadul aku nyanyikan di postingan ini. Dududu….
  
Jogja, 190116*Lathifah Edib, kelahiran dan asli Banjarmasin, tapi sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Sungai Guring yang tinggal nama itu terletak di Jl. Prona, Jl. A. Yani km. 4,5, Banjarmasin. Semoga revitalisasi sungai semakin maksimal agar sebutan Kota Seribu Sungai bukan sekadar kenangan.

Ini Dia Sejarah-sejarah Menarik di Indonesia


15 komentar:

  1. Oh guring itu artinya tidur, hehe. itu bahasa Banjar ya mbak. Aku baru tau.
    Soal sungai yg mati, sekarangpun banyak sungai yg mati.. sedih, hiks.

    Oh ya makasih ya mbak sudah ikutan giveaway di blogku. Peserta pertama nih.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, mbak mely. Sama2. Makasih juga sdah mampir. Smakin maju pmbangunan, sngai pun bnyak yg mngalah. :(

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. Cerita yang menarik Mba Edib, dan jadi tahu beberapa kata bahasa Banjar :)

    Habis makan, bawaannya pengen guring heheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makannya nasi goreng. Klop jadinya, Wan. :v
      Makasih sudah mmpir. ;)

      Hapus
  3. duhhh aku paling sedih kalo liat sungai mati..huhuu
    pengen rasanya nyiptain alat pembersih sampah di dasar sungai gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks hika, rasanya nyesek, mbak. :3 makasih udah mampir. :)

      Hapus
  4. Dulinat nama internasionalnya misro. :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari kemarin ngingetin bhasa intrnasional itu, wid. :v misro, catet!

      Hapus
  5. Dulinat nama internasionalnya misro. :v

    BalasHapus
  6. Ohhh...di Banjar ada juga ya Sungai Guring.. Sama kayak di palembang ada juga Sungai Guring tepatnya di kelurahan 1 Ulu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Mbak Rita. Wah, sama, ya. Kalau di Palembang, "guring" artinya apa, Mbak? ^_^

      Hapus
  7. guring. sekarang mati. kasihan ya. sungai-sungai tak lagi menangis mbak. sudah pada ga ada airnya. jangan-jangan besok-besok sungai tinggal sejarah. jadi nama jalan doang.

    BalasHapus
  8. wah, sungai guring ternyata juara, selamat ya :)

    BalasHapus