Sabtu, 26 Desember 2015

Membaca Korupsi



(sumber ilustrasi: di sini)


Melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang adalah hal yang harus dilakukan seorang penyimak berita. Tak terkecuali berbagai kasus yang menghiasi berbagai media. Kita, sebagai pembaca, hanyalah orang luar yang tidak tahu sebenar bentuk jeroan. Namun, tidak menutup kemungkinan kita bisa menyimpulkan apa dan bagaimana permasalahan itu terjadi.

Ingatkah sosok presiden RI yang memerintah Indonesia selama 32 tahun lamanya? Meskipun posisi sang presiden jatuh saat terjadinya reformasi Mei 1998, meskipun berbagai kalangan berkata dialah penyebab utang negara bejibun jumlahnya, Soeharto tetaplah mantan nomor orang satu di negeri ini. Sebobrok apa pun sikapnya, tak bisa dimungkiri, Soeharto pernah dipuja, dielu-elukan, bahkan diimpikan rakyat untuk bisa bersalaman langsung dengannya. Memang, selalu ada sisi hitam, putih, dan abu-abu dalam hidup seseorang.

Ya, hitam, putih, dan abu-abu, adalah gambaran hidup seorang pejabat. Semakin maraknya kasus korupsi, tak serta-merta membuat mata begitu peka menilai ini hitam, itu putih, atau ini abu-abu. Semua begitu samar. Beberapa politisi yang awalnya begitu getol berjuang di zaman reformasi, malah ada yang terjebak kasus korupsi. Beberapa tokoh yang semula adalah seorang aktivis pemberantasan korupsi, juga tersangkut kasus korupsi. Lantas, bagaimanakah kita sebagai seorang yang awam politik melihat berbagai kasus?

Saya seorang penulis puisi yang cukup getol memuisikan kebobrokan pejabat-pejabat korup. Korupsi tetaplah penyakit yang harus disembuhkan hingga ke akarnya. Selain itu, korupsi juga haruslah diedukasikan kepada generasi bangsa. Edukasi yang bagaimana? Edukasi kepada anak-anak didik bahwa korupsi itu berawal dari hal yang kecil. Terkadang, sesuatu yang semakin berkembang itu berawal dari kekeliruan sikap yang dianggap wajar. Contoh kecil, menyuap polisi ketika ditilang. Ini jelas sikap salah yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat.

Sebenarnya apa sih penyebab orang korupsi? Menumpuk harta? Mencari kepuasan demi kepuasan? Saya teringat dengan sosok Jero Wacik yang dijadikan tersangka kasus korupsi beberapa waktu lalu. Jero Wacik, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2004-2011) serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2011-2014), disangkakan merugikan negara miliaran rupiah. Pertanyaan saya, kok bisa seorang Jero Wacik korupsi?

Seperti yang telah banyak diketahui, pada masa jabatannya, Jero Wacik telah berhasil menoreh banyak prestasi. Selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik berhasil menaikkan devisa negara dari  3 miliar dolar Amerika menjadi 6 miliar doalr Amerika. Jero Wacik juga menghidupkan dunia perfilman Indonesia dengan diadakan kembali FFI, yang sempat vakum sejak tahun 1992. Dunia perfilman Indonesia pun semakin maju hingga sekarang. Tidak salah jika mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadikannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam dua periode.
 
(sumber ilustrasi: di sini)

Saat menjabat sebagai Menteri ESDM, Jero Wacik mampu menaikkan produksi proyek Cepu naik menjadi 165 ribu barel per hari setara dengan 86 triliun rupiah per tahun. Penyelesaian pembangkit listrik tahun 2011 hingga 6000 MW dan renegosiasi harga gas tangguh yang semula 2,7 dolar per metrik ton, menjadi 8 dolar per metrik ton.

Logika saya berpikir, jika memang benar seorang Jero Wacik korupsi, kok bisa cuma mengambil “seupil”? Aih, saya jadi membandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya yang merugikan negara triliunan rupiah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral adalah lahan yang basah. Berbagai kasus korupsi pernah terjadi di kementerian ini. Salah satunya adalah kasus Jacobus Purwono, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun  2007-2008. Jacobus Purwono dijadikan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan sistem listrik tenaga matahari untuk rumah tangga. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 119 miliar (baca di sini). Kasus lain yang fenomenal dan tidak rampung-rampung adalah mafia migas, yang bernilai ratusan triliun rupiah.

Lagi-lagi, saya mencoba bermain logika. Istilah yang dipakai KPK kepada Jero Wacik adalah pemerasan. Ya, Jero Wacik disangkakan melakukan pemerasan dalam penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM) sehingga merugikan negera sebesar 9,9 miliar. Bandingkanlah, jomplang banget 9,9 miliar dibanding 199 miliar, bahkan ratusan triliun rupiah itu. Seorang Jero Wacik, pimpinan tertinggi di ESDM, terlibat kasus pemerasan? Pemerasan yang bagaimanakah? Siapa yang diperas? Bagaimana proses pemerasannya? Mendengar kata “pemerasan”, pemikiran saya sebagai orang yang awam hukum adalah tindak kriminal yang “tidak elegan” sekali.

Pemerasan identik dengan pemaksaan kehendak, perampokan, dan intimidasi, menurut saya. Atau, mungkin ada pemerasan kelas kakap? Ibaratnya, perampok kelas kakap tentu berbeda dengan level maling sandal. Kecerdasan Jero Wacik tidak perlu diragukan lagi. Dia lulusan terbaik ITB. Perjuangan hidupnya dari kecil hingga menjadi orang sukses patut diacungi jempol. Sebelum Jero Wacik terjun di dunia politik, dia adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Dia pernah puluhan tahun bekerja di perusahaan industri otomotif, menjabat sebagai Goverment Sales Manager. Setelah itu, dia berwiraswasta dengan mendirikan dua perusahaan pariwisata dan satu perusahaan tekstil. (baca di sini). Ketika membaca kasus Jero Wacik ini, terbayanglah bagaimana sosoknya yang berwibawa.



Bukan berarti saya membenarkan pencurian kelas teri. Sama sekali tidak. Pencuri, ya, pencuri. Korupsi, ya, korupsi. Koruptor harus dihukum berat. Saya hanya mencoba melihat dari sisi lain. Politik, hukum, dan korupsi semakin abu-abu. Sulit ditebak siapa otak, siapa pemain, siapa korban, siapa yang dikorbankan, dan siapa tukang sorak-sorak bergembira. Apa pun keputusan sidang kasus-kasus korupsi, khususnya kasus Jero Wacik, semoga sudah sesuai dengan hati nurani dan nilai keadilan. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar