Selasa, 13 Oktober 2020

Bekal Rindu


Hai kamu, apa kabar? Sudah seberapa besar rindumu? Tak bisa diukur? Iya, rindu memang begitu. Tak bisa ditebak seberapa besar rinduku, rindunya, dan rindumu. Tak ada ukuran pasti. Suatu waktu, kita merasa rindu berkurang, padahal rindu semakin besar. Hanya saja, kita tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

Hai kamu, apa kabar? Sudah berapa lama tak menyusuri Malioboro, ringroad, dan jalan raya Jogja saat libur panjang? Sudah berapa lama tidak blusukan di Pasar Giwangan, Beringharjo, dan Kotagede? Sudah berapa lama tidak menikmati jajanan pasar, gudeg, dan menu masakan rumah? Sudah berapa lama mata tak disuguhi pemandangan bapak-bapak yang duduk di angkringan? Sudah berapa lama tidak menyaksikan berbagai tradisi dan budaya Jogja? Sudah berapa lama tak bersapa langsung dengan tetangga? Sudah berapa lama tidak ikut rewang, tilik, dan sebagainya? Sudah berapa banyak rindu? Aih, kembali ke paragraf pertama. Rindu tak berbilang. Seperti rinduku. Ya, rinduku pada kampung halaman seperti rindumu pada kota kelahiran.

Hai kamu, semoga baik-baik saja. Sehat-sehat, ya. Tak apa tertunda sekian bulan tak pulang ke Jogja. Aku pun begitu. Menunda dulu pulang ke Banjarmasin. Kamu rindu pulang. Aku juga rindu pulang. Tenang, Jogja masih nyaman. Masih begitu ramah menanti kedatangan. Nanti saat normal kembali, kamu pulang, aku juga pulang. Kita berselisihan di persimpangan---entah di flyover Janti, area parkir bandara baru, atau di langit Jogja saat pesawat mendarat dan lepas landas---dengan rindu yang tak sabar diluapkan kepada keluarga.

Hai kamu, kamu, kamu. Kepulangan bukan soal berapa lama tak pulang. Tapi, sekuat apa menyiapkan bekal. Tentu saja, bekal rindu.


Jogja, 111020

Sabtu, 10 Oktober 2020

Bus Tua


Lama tak kulihat

Bus tua di tengah kota Jogja

Mungkin aku saja yang terlalu nyaman

Order ojol lewat gawai

Selesai berdandan

Ojol sudah menunggu di depan


Lama tak kurasakan

Asap rokok di bus tua yang tanpa jendela

Seorang bapak merokok

Sembari menatap kota yang makin ramai

Seorang ibu terbatuk-batuk

Rokok pun dilempar ke jalanan


Lama tak kunikmati

Bus tua ngetem di dekat perempatan

Dua penumpang berbincang

Tentang hasil kebun

Tentang sekolah anak

Tentang Jogja dan wisatawan


Lama ya terlalu lama

Menyusuri jalan raya Jogja

Hanya sedikit cerita yang kupungut

Cerita tentang aku saja

Cerita yang terlewat tanpa bekas

Beserta keriuhan isi kepala


Sekali bus tua lewat

Sopir dan dua penumpang

Mungkin mereka berbincang

Mungkin sekadar menunggu sampai ke tujuan

Aku masih di tepi jalan

Menunggu ojol datang


Jogja, 081020

Senin, 05 Oktober 2020

Ngangkring

Menepi sejenak di sebuah angkringan, di kawasan Malioboro. Sebuah lagu terdengar. Bibirku pelan mengiringi lagu "Pupus" Dewa 19 itu.

"Kapan terakhir pulang?" tanyaku. Kopi hitam ala angkringan diseruputnya pelan-pelan.

"Hari Raya kemarin." Dia nyalakan sebatang rokok. "Maaf. Ngerokok dulu," ucapnya. 

"Kuliah lancar?" Aku kembali bertanya dengan rasa penasaran.

"Lancar. Ngamen nih pas nggak kuliah. Ngisi waktu aja, Kak," jelasnya.

Sabtu Minggu Jogja dipenuhi bus dan mobil plat luar kota. Malioboro, pusat wisata Jogja yang selalu diriuhi wisatawan lokal dan asing. Terkadang heran, kok bisa mereka betah berlama-lama di Malioboro? Kadang sekadar duduk. Kadang sibuk menawar harga di deretan penjual oleh-oleh. Kadang menikmati kuliner. Tidak perlu heran juga, sih. Aku pun betah berlama-lama di sini.

Segelas kopi dan tiga gorengan seperti sesaji. Sebenarnya tidak lapar. Hmmm..., rasanya ada yang kurang kalau tidak mampir dan ngopi di angkringan.

Di angkringan ini pula, aku memulai obrolan dengan si pengamen, pemuda 20-an tahun. Berawal dari ketidaksengajaan mendengar perbincangan berbahasa Banjar dengan temannya. Samarinda, dia menyebutkan kota asalnya.

"Kakak kuliah juga?" Dia bertanya.

"Kerja."

"Wah, jarang-jarang orang Banjar kerja di Jogja, Kak," katanya.

"Hehehe, biar imbang. Orang Jawa ke Banjar. Orang Banjar ke Jawa. Biar populasi merata," candaku.

"UMR di sini, kan, kecil, Kak. Kok mau, sih?"

"Ngamen dapat berapa sehari?"

"Kalau lagi rame banget, bisa dapat 100 ribu sehari. Bagi dua sama teman. Kalau sepi, 20 ribu untung banget," jelasnya.

"Himung, lah?"

"Himung. Lumayan bisa beli rokok. Hahaha...."

"Nah, itu intinya. Himung. Bahagia dapat sedikit atau banyak. Bahagia meski UMR rendah. Tapi, ya lebih bahagia dan ngarep sih UMR-nya naik. Hahaha...."

Kami tertawa. Entah menertawakan Malioboro yang selalu ramai di akhir pekan. Entah menertawakan gelas kopi yang sisa ampas. Entah menertawakan UMR yang ogah naik kasta. Nikmati saja selagi di Jogja.


Jogja, 021020


*Himung: Senang (bahasa Banjar)

Jumat, 02 Oktober 2020

Pasar Beringharjo dan Seni Tawar-menawar

Pasar Beringharjo. Bejubel pedagang, bejibun pula pembelinya. Karena terlalu bejubel inilah, aku jarang belanja di Pasar Beringharjo. Faktor lainnya, sih, aku tidak begitu jago menawar harga. 


"Tawar separo harga, Mbak. Aku biasanya, sih, nawar sampai 70%," saran temanku sebelum aku belanja.

Inilah sulitnya. Kadang rasa tidak enak muncul saat mau menawar harga. Demi dapat harga murah, ya sudahlah. Mulailah bermain seni menawar harga.

"Dasternya berapa ya, Bu?" Kupilih daster buat Mamak. Daster batik panjang dan berwarna cokelat muda. Kualitasnya lumayan bagus, menurutku.

"Ini 250 ribu, Mbak."

Terdiam sekian detik. Dalam hati, "Tawar berapa, ya?"

"Bisa 150 ribu aja?"

"Tambahin lagi, Mbak."

"Hmmm...." Mikir mulu. Pantas kerutan makin banyak, rambut kian rontok, rindu tambah kuat... ups! 

"Tambahin 30 ribu. 180 ribu aja."

"170 ribu deh. Gimana?"

Proses tawar-menawar selesai. Uang 170 ribu sudah berpindah tangan ke ibu penjual.

"Berapa?" tanya teman.

Kuceritakan proses tawar-menawar tadi.

"Hadeeeh.... Kan udah kubilang tawar 50% atau lebih. Ini mah 130 ribu paling mahal di toko lain."

Senyum-senyum sajalah. Kemampuanku dalam tawar-menawar masih level satu. Aih, persis kemampuan makan ayam geprek. Kuat di level satu saja. Terkadang hidup memang begitu. Bukan masalah untung atau rugi, tapi keikhlasan untuk berbagi. 


Jogja, 011020