"Aku tak punya alat khusus untuk mengukur kadar cinta. Toh, cintaku telah lama kaubiarkan sepi. Sesepi mantra Sutardji," sahutku.
"Kau yang membuatku sepi," ucapmu dengan tatapan setajam pisau.
"Kau!" teriakku. Harusnya kubakar dia. Harusnya kubiarkan dia jadi abu. Harusnya...
Malam kian tua. Aku membisu. Puisi meracau sendiri. Apa daya, racauannya hanya sepintas lalu. Lalu, sepi. Lalu, mimpi. Lalu, pagi. Lalu, berganti hari.
"Selamat pagi! Kapan terakhir kau berpuisi?" Sebuah suara sayup terdengar dari pintu lemari. Asap selubungi kamar. Aku terbatuk dan meracau.
"Api api api. Api puisi api. Sebelum mati, puisi telah lama mencari jalannya sendiri."
Jogja, 230918
Aku rasa, aku terlalu lama terkurung dalam puisi yang sepi dan api.