Rabu, 31 Agustus 2016

Lagu Sepanjang Masa: Melati dari Jayagiri



Melati dari Jayagiri
Cipt. Abah Iwan

Di puncak bukit
Telah saling janji
Telah terjadi
Janji sehidup semati

Melati dari Jayagiri
Kuterawang keindahan kenangan
Hari-hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih...

Kuingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kubiarkan kau kecup bibirku

Mentari kelak kan tenggelam
Gelap kan datang dingin mencekam
Harapanku bintang kan terang
Memberi sinar dalam hatiku

Kuingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Mungkinkah akan tinggal kenangan
Jawabnya tertiup di angin lalu
 
(Sumber gambar: selingkaran.com)
Melati dari Jayagiri sebuah lagu yang enak didengar sepanjang masa. Ketika lagu ini lahir, saya belum kelihatan setitik debu pun alias belum lahir. :D Lagu ini lahir bertepatan di tahun pernikahan Mamak dan Abah, yakni tahun 1968. Wih, kakak sulung saya saja baru tahap perencanaan. Eh!
Banyak penyanyi yang memolerkan lagu fenomenal ini, antara lain Bimbo dan Dewi Yull. Banyak yang mengira lagu ini diciptakan oleh Bimbo. Apakah benar? Ternyata salah besar. Melati dari Jayagiri diciptakan oleh Ridwan Armansjah Abdulrachman atau lebih dikenal Abah Iwan.
Kata satu teman saya, lagu ini tentang patah hati dan menyedihkan, sedangkan saya merasa lagu ini sama sekali bukan lagu sedih. Ada semacam semangat yang berkobar lagi ketika mendengar lagu ini. Semacam lagu penuh pengharapan dan doa kepada Tuhan. Tema lagunya pun universal, yakni tentang cinta. Nah, cinta itu universal. Bisa cinta kepada kekasih, sesama manusia, sesama makhluk Tuhan, alam, dan Tuhan.
Menurut si pencipta lagu, Abah Iwan, lagu ini Melati dari Jayagiri ini sendiri tercipta karena kecintaannya pada hutan. Abah Iwan sangat mencintai hutan dan sering menjelajah hutan. Memang tidak ada lirik tentang hutan yang tersurat dalam lagu ini. Namun, jika kita perhatikan liriknya dari awal hingga akhir, betapa kecintaannya pada alam, khususnya hutan, begitu dalam. Ketika kita mencintai seseorang, ungkapan cinta dan harapan tak serta-merta harus diungkapkan secara blak-blakan dan tersurat.
Kuingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kubiarkan kau kecup bibirku
Mungkin satu bait di atas akan diartikan sebuah kecabulan oleh kalangan tertentu. Saya ingat beberapa tahun saat pengajian acar Maulid di SMA. Lirik-lirik lagu ditafsirkan secara sempit oleh seorang ustadz yang mantan penyanyi. Dia mencontohkan lagu dangdut “Lirikan matamu menarik hati….” Ujung-ujungnya dia malah mengharamkan lagu-lagu bernada romantis. Hmmm, semua orang boleh punya pandangan. Tapi, sebagai seorang mantan penyanyi dan lama bergelut di industri musik dan seni, dan baru menjadi “ustadz”, saya pikir fatwa haram itu terlalu dini diungkapkan. Bukankah kata-kata ditafsirkan dengan beberapa sudut pandang? Jadi, kembali ke diri kita sendiri. Apabila kita menafsirkan negatif, ya selalu negatif lah perasaan kita.
Saat saya menyanyikan lagu Melati dari Jayagiri, jauh sebelum saya tahu sejarah terciptanya lagu itu, tak pernah terpikir tentang hal-hal yang romantis (tentang ciuman itu, lho). Bukankah sering para penyair menulis kata-kata yang romantis tentang alam? “Mengecup dinginnya pegunungan”; “Memeluk tubuhmu yang perawan” (satu larik dalam puisi tentang Loksado); “Aku terlelap di dadamu, dan terbangun saat embun membelai pipiku.” (satu puisi tentang Bromo), dan sebagainya.
Seperti saya katakan di atas tadi. Cinta itu universal. Lagu bertema cinta itu akan hidup sepanjang masa. Apakah kita mau menafsirkan lagu itu pada cinta kepada kekasih, cinta alam, cinta Tuhan, cinta sesama, dan lain-lain, itu terserah kita. Keuniversalan lagu cinta membuat lagunya hidup sepanjang masa seperti lagu Melati dari Jayagiri.
Mau tahu cerita lengkap terciptanya lagu Melati dari Jayagiri? Cek di blog ini, ya. Saya baru baca pagi tadi. >>> http://www.abahiwan.com/featured/filosofi-lagu-melati-dari-jayagiri/
          Hmmm…, sebagai pencinta lagu jadul, ini tulisan pertama saya di blog tentang lagu jadul. Next saya menuliskannya lagi. Lagu apa? Tentunya lagu jadul. Sampai jumpa….


Jogja, awal September 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Belimbing Wuluh



(Sumber: www.seputarpertanian.com)

Setiap kali aku melihat pohon belimbing wuluh di depan gang, aku terhempas seperti buah belimbing yang berhamburan di bawahnya—busuk dan digilas keterasingan. Beratus orang lewat, satu pun tak ada yang tertarik memetiknya dari batang yang rapuh. Seketika aku ingat barisan semut di dinding kelas juga teriakan teman-teman mengejar layang-layang. Kecutnya belimbing wuluh sekecut kekesalanku yang dilarang Ibu untuk tak lagi ikut mengejar mimpi di langit—layang-layang hitam putih yang tersangkut di pucuk rumbia.
Setiap kali aku ingin mengambil buah belimbing wuluh yang jatuh, setiap kali pula tanganku kesemutan dan otakku tak henti berpikir tentang perbedaan aku dan orang-orang yang hidup di kolong jembatan. Aku ingat nama-nama di dinding kelas, megah dan penuh kenakalan. Tapi, aku tak tahu nama siapa saja yang merengek meminta selimut pada Tuhan, malam itu, saat layang-layang tak berhasil kukejar dan entah singgahkah ia di jendela gedung-gedung metropolitan.
Setiap kali perutku perih, bukan karena lapar apalagi kurang jajan, saat itulah aku baru ingat pohon belimbing wuluh itu tumbuh sendiri, bukan ditanam oleh Pak Guru, Pak RT, Ibu, Ayah, Pak Polisi, Pak Camat, Bu Dokter, atau Mantri di sebelah rumah. Bukan pula ditanam oleh penggagas teori-teori ilmu biologi. Kata seorang kakek di gerobak itu, “Pohon itu tumbuh dari titik keringat para pejalan yang tak punya rumah. Buah-buahnya jatuh, membusuk, lalu dimakan keinginan yang telah jadi angin. Mengembuskan aroma sayur asam ke kolong jembatan, ke emperan toko, ke persimpangan jalan, ke hidung-hidung yang tak lagi peka dengan aroma makanan.”
Hari ini aku meminta Ibu memasakkan sayur asam sepanci besar. Kupikir kuahnya bisa disiram ke pohon-pohon di sepanjang jalan—termasuk si pohon belimbing wuluh—sehingga kakek itu tahu sedikit aroma masakan meski kini kata-katanya telah mengangkasa menghiasi langit kota

Jogja, 250816