Rabu, 27 April 2016

Mengulik Tips Bertamasya ala Manda



Primastuti Satrianto namanya. Sering dipanggil Manda atau Mak Ima. Awalnya saya memanggilnya Mak Ima, tapi kayaknya lebih akrab jika ikut teman-teman memanggilnya Manda. Saya sering keliru membedakan antara Primastuti Satrianto dan Prima Purbantono. Sama-sama bernama Prima dan sama-sama berasal dari Jogja. Beberapa kali saya salah mention di Facebook. :D

Pertama kali bertemu dengan Manda saat buka puasa bersama di rumah Mak Ida Nur Laila tahun 2015 kemarin. Satu hal yang langsung saya ingat dari sosoknya adalah tongsis. :D Kalau urusan foto-foto, jangan ditanya lagi. Berada di dekatnya pasti yang tidak doyan narsis bakal jadi narsis. Perempuan yang punya ciri khas senyum manis ini sangat ramah. Kesan ramah langsung saya tangkap saat pertama bertemu. Pokoknya si Manda ini perempuan Jogja banget.
Mau mengenal lebih dekat dengan Manda? Langsung kepoin blognya saja. Dijamin bakal banyak info kuliner, tempat wisata, dan tips-tips menarik. Yuk capcus ke www.tamasyaku.com.
Salah satu tulisan yang sangat menarik adalah tips menghindari zonk saat bertamasya. Sebagai traveller, tips ini penting sekali disimak. Saya pernah beberapa kali pergi travelling, tapi apa yang dilihat tak seindah yang diharapkan. Ah, kadang foto-foto di internet suka lebay sih, ya. Terlalu banyak editing foto. :D Seperti kata Manda di blognya, info yang menyebar di berbagai media online mempermudah kita mengakses informasi. Namun, kita harus pintar memilah informasi. Kita juga harus bisa menyiasati liburan yang “zonk” menjadi mengesankan.
Nah, kadang zonk saat bertamasya tidak bisa kita hindari, lho. Bagaimana menyiasatinya agar tidak benar-benar zonk? Kalau mengandalkan nikmati apa yang ada, ya memang harus dinikmati agar tidak kecewa berkepanjangan seperti jangan ingat mantan terus-terusan. #hubungannya apa ini kok bicara mantan? Pletak!
Pertama, seperti saya tulis di atas. Nikmati apa yang ada.
Kedua, lakukan hal yang antimainstream. Misalnya, kalau pantai yang kita kunjungi ternyata kotor banget, jadilah tukang sampah dadakan. Kalau bukit yang kita daki gersang banget dan tak sehijau di foto, bayangkan diri kita adalah Hulk. #ini tips apaan?
Ketiga, makanan di tempat wisata tidak ada yang enak, sementara kita tidak bawa stok makanan, apa yang harus dilakukan? Kembali ke tips pertama.
Keempat, kehujanan di tempat wisata itu kadang asyik. Hujan-hujananlah selagi bisa mandi hujan. Tapi, ingat tips dari Manda, selalu bawa obat-obatan dan alat P3K. Oh, ya, selalu sedia payung atau jas hujan. Kan jadinya romantis kalau hujan-hujanan berdua. Uhuk!
Kelima, satu hal yang saya lakukan setiap berwisata adalah berbincang dengan masyarakat di kawasan wisata. Jadi, kalaupun tempat wisatanya tidak sesuai impian dan harapan, berbincang dengan pedagang, tukang bersih-bersih, pengunjung, masyarakat sekitar, dan lainnya, sudah menjadi hiburan tersendiri.
Jadi, tidak ada lagi istilah “zonk” saat liburan jika kita pintar menyiasatinya. Aih, membaca postingan Manda yang lain bikin saya ngiler pengin wisata kuliner dan bertamasya!

Jogja, 270416


Selasa, 19 April 2016

Memilih Kursi yang Tepat Seperti Memilih Pasangan Hidup



Kursi punya banyak makna, bisa denotasi dan konotasi. Secara konotasi, kursi berkaitan dengan kedudukan, kekuasaan, dan jabatan. Tengoklah wakil-wakil rakyat di Senayan, mereka saling berebut kursi dengan cara masing-masing, ada yang manis, cantik, ganteng, munafik, dan ada juga yang masa bodoh. Secara denotasi, kursi adalah benda yang yang mempunyai kaki dan sandaran, dijadikan untuk tempat duduk. Semua sudah tahu, lah. Apa beda kursi dan bangku? Keduanya sama-sama punya kaki, tapi kalau bangku tidak punya sandaran. Kali ini saya tidak mau membicarakan kursi di Senayan. Malas ah, tidak ada geregetnya.
Ah, saya meracau apa ini. Kenapa menjelaskan sesuatu yang sudah diketahui banyak orang. Eh, mungkin saja ada yang belum tahu. Iya toh? Semakin maju peradaban manusia, kursi semakin banyak jenisnya. Ada kursi belajar, kursi tamu, kursi ruang tunggu, kursi kantor, kursi makan, kursi teras, dan sebagainya. Masing-masing kursi didesain sesuai fungsinya. Kursi teras didesain sedemikian rupa agar anggota keluarga lebih nyaman bercengkerama.
Kursi kantor lebih spesifik lagi. Banyak desain kursi kantor yang disesuaikan berdasarkan fungsi dan jabatan si karyawan. Lihat saja di kantor-kantor, ada perbedaan yang mencolok antara kursi direktur, manajer, karyawan biasa, resepsionis, dan kursi tamu. Semakin tinggi status pekerja kantoran, semakin mewah kursinya. Apakah jenis kursi kantor hanya berdasarkan kemewahan dan jabatan? Tentu tidak itu saja. Segi fungsi dan manfaatnya jelas menjadi bahan pertimbangan. 
Disediakan kursi malah selonjoran di lantai. :D Peserta workshop menulis puisi beberapa bulan lalu.
Secara tidak tertulis (atau saya yang tidak tahu apakah sudah ada aturan baku atau tidak), penyediaan kursi kantor untuk karyawan mesti dipertimbangkan secara matang, apakah layak atau tidak? Rata-rata jam kerja kantor adalah delapan jam setelah dipotong masa istirahat makan siang. Duduk selama itu apakah punggung kita baik-baik saja?
Berdasarkan penelitian dan berdasarkan pengalaman banyak orang, banyak penyakit yang ditimbulkan karena bekerja full duduk di kursi. Penyakit itu antara lain nyeri punggung, nyeri leher, nyeri tangan dan jemari, gangguan jantung, obesitas, dehidrasi, ambeyen, dan sebagainya. Bagaimana cara mengatasi berbagai penyakit tersebut?
Pertama, banyak minum air putih selama bekerja. Selalu sediakan air putih di meja.
Kedua, sering-seringlah bergerak. Usahakan sejam sekali bangkit dari kubur, eh kursi. Gerakkan tubuhmu dengan senam sederhana. Bisa lari di tempat, push up di tangga, memutari ruangan kantor, dan lain-lain.
Ketiga, jangan terlalu banyak makan camilan. Wah, ini bahaya, lho. Camilan memang sangat berguna untuk mengurangi kantuk atau stres. Tapi, kalau berlebihan tidak bagus juga untuk kesehatan. Bisa-bisa jadi obesitas.
Keempat, posisi mouse jangan terlalu jauh dari jangkauan. Aturlah supaya jemarimu menggenggam mouse lebih rileks.
Kelima, nah ini yang penting. Kursi. Karyawan bekerja tidak hanya satu atau dua jam atau sehari dua hari saja, melainkan berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Pemilihan kursi yang sesuai dengan postur tubuh sangat penting. Jika kursi yang kita gunakan terlalu besar atau terlalu kecil, ini tentu tidak baik. Kursi terlalu kecil menyebabkan posisi tubuh kita “terpaksa” duduk. Kursi terlalu besar malah membuat ngantuk. :D Pilihlah kursi yang punya alas dan sandaran yang empuk.
Pernah sakit leher karena salah posisi tidur? Orang tidur saja bisa salah posisi, apalagi sedang duduk. Salah posisi disebabkan karena keliru memilih kursi yang pas.  Biasanya, perusahaan punya standar sendiri dalam menentukan jenis kursi untuk karyawan. Apakah standar kursi disesuaikan dengan budget perusahaan? Jawabannya, antara iya dan tidak. Perusahaan memang punya hak dia mau mem-budget berapa pun untuk kursi, tapi perusahaan juga punya kewajiban memperhatikan standar kelayakan dan kesehatan karyawan.  Tentunya, dengan kursi yang nyaman diduduki, nyeri punggung dan nyeri leher berkurang, tidak dibayang-bayangi penyakit tulang punggung, serta tidak perlu pijat dua minggu sekali. Bukankah memilih kursi yang tepat sama dengan memilih pasangan hidup? Uhuk! Salam.

Jogja, 190416

Sabtu, 09 April 2016

Parang Berdarah

Angkot jurusan Lokasi-Pangeran Antasari sepi penumpang. Setiap hari aku harus menunggu lama dengan jumlah penumpang yang sedikit. Paling banyak hanya lima orang. Waktu itu tahun 2002. Sekitar dua tahun kemudian Terminal Lokasi itu ditutup. Alhasil, tidak ada angkot yang dekat rumahku. Bagiku ini menyedihkan sekali bagi siswa yang tidak punya kendaraan sepertiku dan tidak bisa mengendarai motor pula. Solusinya harus punya motor atau diantar orang tua ke sekolah. Makanya, motor termasuk keperluan utama sebagian warga Kalimantan Selatan karena angkot kurang diminati.

Aku dua kali naik angkot hingga sampai ke sekolah. Dari Lokasi, berhenti di lampu merah Jalan Gatot Subroto, lalu naik angkot jurusan Pal 6 yang melewati Jalan Gatot Subroto. Pagi itu seperti biasa aku menunggu angkot. Setelah menunggu sekitar hampir setengah jam, angkot akhirnya jalan juga. Aku deg-degan sekali karena rasanya bakal telat sampai ke sekolah. Rasa deg-degan itu menjadi-jadi ketika angkot baru berjalan satu menit. Tiba-tiba di dekat masjid, ada kerumunan warga.

"Ada apa, sih?" tanya seorang ibu paruh baya di sebelahku. 

Empat penumpang diliputi penasaran, sementara aku panik karena takut terlambat sampai sekolah. "Alamat menjadi petugas rutin apel Senin, nih," ucapku dalam hati. Maksudnya, jadi salah satu dari barisan siswa yang terlambat.

Tak lama, ada seorang lelaki mungkin usia 30-an keluar dari sebuah gang. Aku yang belum sempat sarapan mendadak mual tak terkira. Hal yang menakutkan terpampang di depan mata. Alamak! Aku ingin menutup saja, tapi sudah kadung melihatnya.

Lelaki itu masih berdiri di pinggir jalan. Satu pun warga tak ada yang berani mendekat. Dia merintih dan memegang perutnya yang berlumuran darah. Tak jauh dari tempatnya, berdiri seorang lelaki dengan memegang parang. Perkelahian baru saja terjadi. Aku takut darah. Darah adalah hal yang menakutkan. Ditambah lagi parang yang berlumuran darah itu.

Aku jelas terlambat masuk sekolah. Adegan parang berdarah itu pun masih terekam jelas sampai sekarang. Sejak itu, setiap aku melihat benda tajam semisal pisau saja, aku selalu menaruhnya atau menyimpannya di tempat yang menurutku tidak akan bisa melukai orang.

Bali, 090416

Kamis, 07 April 2016

Surat untuk Abang Yasir



Hari ini tepat dua tahun kepergianmu, Bang. Masih teringat momen saat sarapan bersama Fuza, Shafa, dan acilmu paling bungsu. Ada ketukan di pintu rumah. Seorang remaja berseragam sekolah mengabarkan kamu kecelakaan. Temanmu tidak panik sama sekali. Aku pun tidak panik. Setengah piring nasi di dapur belum kuhabiskan karena sibuk menelepon mamamu di sekolah dan bapakmu di kantor.

Kamu sudah dibawa ke Puskesmas Gambut, dekat sekali dengan sekolah tempat mamamu mengajar. Mamamu pun tidak panik karena mengira kamu hanya kecelakaan ringan. Memang hanya ada luka kecil di antara dagu dan leher, namun luka itu yang menyebabkan pendarahan hebat. Katanya itu akibat tusukan benda besi di helm. Lagi-lagi mamamu tidak panik apalagi histeris macam sinetron di TV, yang sering kamu komentari, "Ngapain sinetron ditonton? Mending nonton Naruto."
Mamamu tidak mengira seorang siswa berseragam SMP yang tidur di dipan itu kamu, Bang. Kata orang Puskesmas, kamu sudah meninggal. Mamamu tidak percaya karena tidak ada luka serius yang tampak. Jasadmu terbujur di dipan Puskesmas. Mamamu menciumi ubun-ubunmu dan berucap dalam hati, "Gantengnya anakku." Ya, tak ada luka di wajahmu, seperti tidur lelap saja.

Dia masih sempat menelepon om-om, aku, dan saudara yang lain. Usul visum oleh pihak Puskesmas pun ditolak mamamu. Semua juga sepakat tidak perlu ada visum. Dia tidak berani menelepon Kai, takut Kai nekat langsung naik motor menyusul ke Gambut. Kamu tahu sendiri, Bang, Kai itu kalau masih muda kayak pembalap—katamu dulu.
Yang justru terpukul dan tak bisa berbuat apa-apa adalah bapakmu, Bang. Dia datang setelah mamamu tahu kamu sudah meninggal. Bapakmu terduduk lemas dan hampir pingsan. Sudah diatur sama Tuhan, Bang. Ada yang kuat dan ada yang perlu dikuatkan. Sampai kamu dimakamkan, bapakmu diam tanpa sepatah kata pun.
Sirene ambulans jam 12 siang terdengar di pekarangan. Masih terngiang bunyi itu, Bang. Tapi, aku yakin, kamu meninggal dalam keadaan baik, saat menuntut ilmu, setelah ujian sekolah. "Jangan menangis. Jangan menangis" Itu yang aku kuatkan dalam hati.
Rasanya baru kemarin memandikan wajah montokmu sewatu bayi. Rasanya baru kemarin menyiapkan sarapanmu meski setelah kelas 5 SD kamu tidak mau lagi disiapkan sarapan karena bisa masak sendiri. Rasanya baru kemarin kamu usia empat tahun kuajak jalan ke Pasar Ahad Pal 7. Rasanya baru kemarin kamu berangkat sekolah naik angkot, pulang pun naik angkot. Rasanya baru kemarin melihat kamu malu dan enggan kalau satu angkot dengan mamamu karena mamamu juga gurumu di sekolah. Kamu benar-benar tidak pernah mau dianggap istimewa karena anak seorang guru. Kamu ingin disamakan dengan siswa lainnya.


Rasanya baru kemarin kamu mengantarku ke warung belakang kompleks. Rasanya baru kemarin melihatmu menikmati buah durian dengan Shafa. Rasanya baru kemarin kamu mendadak mau berhenti pondok dan ingin meneruskan sekolah dekat rumah saja. Rupanya itulah tanda kamu ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarga dan teman-temanmu. Rasanya baru kemarin kamu mengetuk pintu kamar mamamu, dan minta oleskan obat ke kakimu yang sakit karena futsal—ya itulah malam terakhir kamu bermanja-manja dengan mamamu.
Mamamu memang sangat tegar, Bang. Dia memandikan dan mengafanimu dibantu bapakmu yang masih tampak lemas. Semua ikut mengurus jenazahmu. Kai datang sesaat setelah kamu tiba di rumah. Saat meninggal Om Muhyi, Kai tidak terpukul seperti itu karena dia menemani Om selama sakit. Sekarang kehilangan cucu pertama mungkin seperti kehilangan permata baginya. Tapi, Bang, kesedihannya tak berlarut. Rasa terpukulnya hanya sebentar. Kai, Nini, om-om, mamamu, bapakmu, dan aku memandikanmu. Memandikanmu seperti memandikan Abang Yasir kecil yang tidak pernah cerewet dimandikan oleh siapa pun. Abang Yasir yang selalu mengumbar senyum.
Bang, pusaramu tepat di samping Kai Nini-mu di Ulin, Kandangan. Pantaslah sejak mamamu menikah dengan bapakmu 18 tahun lalu, rumah di Ulin itu menjadi tempat yang tidak pernah bosan dikunjungi. Kita sering berakhir pekan di sana. Panen rambutan, memetik buah kelapa, main sepeda ontel, dan sebagainya. Suasananya adem dan damai. Rupanya persiapan di masa depan, kami selalu bahagia mengunjungimu kapan pun.
Salam sayang, Abang Yasir.
Mama Acil.

Jogja, 080416

Jangan Bilang Siapa-siapa, Ya!



Ah, ini tema yang bikin geregetan! Kenangan yang memalukan. Hmmm, memang diriku malu-maluin dari sononya, sih. :D Tapi, rasanya pengin naik ke loteng dan tidak turun-turun sampai ada ngasih segenggam berlian kalau ingat pengalaman satu ini. Haseeem! :p
Ini cerita saat aku baru masuk ke asrama pondok pesantren. Kira-kira belum seminggu tinggal di asrama. Seperti yang sudah aku ceritakan di postingan sebelumnya, aku kuliah sembari nyantri di PP Nurul Jadid. Jadi, sebenarnya aku ini telat nyantri. Malah lebih dulu dua adikku yang sejak lulus SD sudah dimasukkan ke pondok pesantren nun jauh di pulau seberang.
Apakah begini ekspresi malu? Entahlah. Sekadar ilustrasi. Lokasi: Museum Keraton Solo.
Kebiasaan anak pondok itu antre di depan kamar mandi. Apa? Bagi-bagi sembako? Enak saja. Antre BBM! Buru-Buru Mandi (BBM). Biarin bikin singkatan sendiri. :D Kalau mau mandi lebih cepat, mesti buru-buru  ke kamar mandi kalau tidak mau didahului teman lain dan terpaksa mengantre di depannya. Antre sembako saja kalah dapatnya antre kamar mandi.
Aku tinggal di salah satu asrama putri (iyalah, masa asrama putra? Pletak!) yang jumlah santrinya lebih sedikit daripada asrama-asrama lainnya. Jumlah kamar mandi pun disesuaikan dengan banyak santri. Ya, zaman itu (tidak mau menyebutkan tahun. Nanti ketahuan tua. Uhuk!), perbandingan kamar mandi dan jumlah santri adalah sekitar 1:10. Ada nilai positif yang aku dapatkan selama empat tahun mengantre mandi, yakni disiplin dan jujur. Kalau sampai ada yang curang menyerobot antrean, jangan harap suasana bakal hening. Pasti bakal disorakin teman-teman. :D
Namanya santri putri, pasti kamar mandi juga disediakan  fasilitas pembuangan pembalut. Tahu apa itu pembalut, kan? Kalau tidak tahu, searching saja. :p Apakah tempat pembuangannya sama dengan kamar mandi lain yang disediakan tempat sampah? Oh, tentu tidak. Tempat sampah yang kecil itu tentu tidak bisa menampung pembalut ratusan santri. Bayangkan saja, deh.
Jadi, di depan kamar mandi, disediakan lubang yang dalamnya bermeter-meter dan diameter sekitar satu meter lebih. Aku tidak pernah mengukur berapa dalamnya. Bagaimana mengukurnya? Gubrak! Mungkin sekitar dua meter lebih.
Lubang itu ditutupi seng lumayan tebal. Para santri tinggal membuang pembalutnya ke lubang itu.  Secara rutin, pembalut-pembalut itu dibakar dengan tertutup seng tebal. Salut buat pengurus kebersihan yang dengan sukarela membakarnya. Jika tumpukan pembalut itu basah terkena air hujan, pengurus kebersihan akan menjemurnya lebih dulu agar cepat terbakar. Ah, aku tidak terbayang menjadi pengurus kebersihan di asrama. Sebab itulah, selama jadi pengurus di sana, aku selalu berdoa semoga tidak diangkat sebagai pengurus bidang kebersihan. Pletak! Tapi, aku tidak sungkan membantu membersihkan got ketika meluap, misal. #modus biar dibilang rajin. :p
Karena ulah lubang besar itulah, aku menanggung malu yang bikin wajah bersemu pink (biar lebih romantis. Hew!). Pertama nyantri, aku tidak tahu kalau ada lubang di bawah seng tebal itu. Sudah tertebak ending-nya? Oke, karena tidak tahu, kakiku menginjak itu seng dan… BUG! Aku jatuh ke lubang yang penuh… ah, sudah, jangan dibayangkan. Syukurlah saat itu musim kemarau. Hmmm…. Yang perlu aku lakukan adalah meminta pertolongan seseorang. Untunglah ada dua orang santri yang berjalan dari tempat jemuran pakaian.
Sakit, sih, tidak. Malunya itu, lho. Sampai bertahun-tahun masih ada teman yang ingat tragedi itu dan jadi bahan candaan. Aku mah santai ikut ketawa juga, padahal malu pakai bangeeet. Hahaha…. Kenangan tak terlupakan sampai kapan pun. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya! #SeretSandal.

Salam penuh kenangan!

Jogja, 070416