Rabu, 02 Maret 2016

Sampah, Mantan, dan Dua Ratus Rupiah



Berbicara masalah lingkungan, tentu yang paling dasar adalah sampah. Ya, Sampah. (Bukan cuma mantan, lho, yang dianggap sampah. :D ). Sampah memang menjadi salah satu sebab berbagai masalah lingkungan. Salah satunya adalah banjir. Bahkan, banjir kecil seperti selokan yang meluap saja disebabkan oleh sampah. Beberapa kali aku melewati banjir di selokan di ruas Jalan Wonosari, Yogyakarta. Oow! Ternyata banyak sampah yang menyumbat selokan. Ini sedikit menggangguku sebagai pejalan kaki.
Tempat sampah di salah satu sekolah di Banyuwangi.
Berbagai kampanye tentang sampah rupanya tak jua membuat orang sadar membuang sampah pada tempatnya. Bagaimana, sih, supaya masyarakat sadar lingkungan sehat dan bersih? Membudayakan hidup bersih memang tak cukup sedikit waktu. Perlu waktu yang panjang seperti halnya melupakan mantan (Jiaaah, mantan lagi). Maksudnya, perlu namanya pembiasaan sejak kecil. Lho, bagaimana dengan mereka yang dari kecil tidak terbiasa menjaga lingkungan, tidak terbiasa membuang sampah pada tempatnya? Gampang, anggaplah diri sendiri masih kecil, lalu mulailah membuang sampah pada tempatnya. Sangat gampang, kan? ;)
Contoh sederhana, biasakan anak mengantongi sampah sekecil bungkus permen pun jika tidak menemukan tempat sampah di sekitarnya. Bungkus permen memang sampah kecil, tapi bayangkan jika seratus orang membuang sampah bungkus permen. Menjadikan diri sendiri kantong sampah berjalan itu penting. Tidak hanya mengandalkan fasilitas umum. Tidak adanya fasilitas tong sampah di sekitar kita bukanlah alasan untuk membuang sampah sembarangan.
“Salah sendiri nggak disediain tong sampah,” ucap seseorang. Inilah yang kadang menjadi dilema. Benar, fasilitas itu perlu. Tapi, kesadaran itu yang lebih penting. Wong kadang banyak disediakan fasilitas, kok, tapi masih saja banyak sampah bertebaran di mana-mana. Mau bukti? Lihat saja tempat-tempat wisata. Sangat jarang tempat wisata yang benar-benar sepi dari sampah. Andaikan minim sampah, itu bukan karena kesadaran diri sendiri semua orang, melainkan petugas sampahnya yang hilir mudik sapu sana, sapu sini.
Beberapa bulan lalu, aku dan seorang sahabat jalan-jalan di Taman Bungkul, Surabaya. Hapir dua tahun tidak mengunjungi Surabaya, membuatku takjub dan kagum. Surabaya sekarang terlihat bersih, tertata, dan adem. Di ruas-ruas jalan yang dulu tidak tampak pepohonan atau taman kecil, sekarang sudah banyak taman di setiap sudut kota. Taman Bungkul yang dulu saja aku enggan meliriknya karena terkenal kotor, sekarang sudah sangat apik dan bersih. Tampak beberapa petugas selalu membersihkan daun-daun yang berguguran dan sampah yang berserakan. Nah, ini dia poinnya. Tetap masih ada yang membuang sampah sembarangan. Coba pikir saja. Andaikan petugas kebersihan itu tidak ada, apa iya Taman Bungkul akan sebersih itu?
Ini sama dengan kasus “taman amaryllis” di Gunung Kidul beberapa waktu lalu. Ada beberapa pengunjung yang beralasan: “Aku, kan, sudah bayar. Jika ada tanaman yang rusak karena aku injak, itu sudah tanggung jawab pemilik taman.” Gubrak banget, ya. Atau, beberapa kasus para “pendaki gunung” dadakan yang katanya suka pemandangan alam, tapi malah merusak alam dengan tebaran sampah makanan dan kertas. Ada saja yang beralasan: “Wong kami bayar petugas kebersihan, kok. Ada petugasnya yang bersih-bersih.” Lah, ini lebih bikin gubrak lagi! Percuma bilang cinta alam, cinta lingkungan, pamer “aku cinta kamu” lewat kertas yang berserakan di alam, kalau sekadar omdo alias omong doang. Mereka sekadar berekreasi mata, bukan rekreasi jiwa.
Masalah banjir di Jakarta, misalnya, okelah mungkin ada sebab dari kelambatan dari pemerintah dalam mengantisipasi banjir. Saluran air yang kurang optimal mungkin. Mungkin juga karena beberapa bangunan yang tidak memperhatikan saluran air. Tapi, pemerintah bukanlah salah satu sebab saja. Jika semua pihak tidak saling bekerja sama dalam mengatasi banjir, selamanya masalah banjir akan menjadi masalah yang tidak ada titik temu.
Selain masalah tata kota, sebab utama banjir adalah sampah. Bayangkan saja, volume sampah di Jakarta setiap harinya 6.500-7.000 ton. Ini angka yang fantantis dibandingkan kota-kota besar lainnya di dunia. Kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji, volume sampah di kota besar di Eropa hanya 1.000-2.000 ton setiap harinya.
Permasalahan sampah tidak akan selesai hanya dengan mengkritik pemerintah, menyediakan tempat pembuangan sampah, atau menghujat si pembuang sampah. Fasilitas ada, tapi manusianya miskin kesadaran membuang sampah pada tempatnya, ya percuma. Ayolah, kita mulai dari diri sendiri, Kawan! Beri contoh ke keluarga dan orang-orang terdekat. Mulailah memilah sampah mana yang bisa dijadikan pupuk dan mana yang bisa didaur ulang.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu pernah ikut acara blogger. Pembicaranya adalah seorang penggiat bank sampah, Mbak Yeni dari Bank Sampah My Darling. Dia berbagi kisah bagaimana mengolah sampah menjadi barang yang bermanfaat. Tidak hanya itu, dia juga menularkan semangat ke semua orang sehingga banyak yang tertarik ikut berkarya dengan sampah, bahkan banyak yang mendirikan bank sampah di lingkungan masing-masing. Virus memanfaatkan sampah menjadi barang berguna memang perlu ditularkan agar menjadi tren yang positif. Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu meyukseskan regulasi sampah.
Kemarin tanggal 21 Februari bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional. Banyak penggiat lingkungan hidup yang menjadikan momen 21 Februari untuk mengampanyekan peduli lingkungan dan peduli sampah. Bank Sampah My Darling dan beberapa komunitas peduli lingkungan mengadakan kegiatan yang positif di kawasan Car free Day Sudirman. Detail acara bisa dilihat di sini.
Oh, jalak Bali! Love you!
Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam menjaga lingkungan. Peraturan pemerintah tentang harga kantong kresek 200 rupiah itu memang bagus. Tapi, itu bukanlah satu-satunya solusi. Peraturan pemerintah itu akan berjalan optimal apabila masing-masing individu punya kesadaran sendiri akan pentingnya menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Okelah, mungkin bagi sebagian masyarakat kecil harga 200 rupiah itu sangat bernilai. Namun, kita juga harus melek mata bahwa harga 200 rupiah itu bagi banyak orang hanya recehan tak bernilai. Peraturan itu dianggap basa-basi dan hal yang remeh. Semenjak diberlakukannya peraturan itu Februari kemarin, saya mengkhususkan diri menelusuri beberapa minimarket.
Dari sepuluh minimarket di Jogja yang saya kunjungi, 2 di antaranya mengabaikan aturan pemerintah itu. Sebagian pengunjung yang cuma beli sebotol soft drink rela membayar 200 rupiah, padahal minuman itu bisa dipegang tanpa kantong kresek. Di luar minimarket, bertebaran sampah kresek, sampah botol, dan sebagainya. Karyawan minimarket pun tanpa bosan membersihkannya. Heran, ya, sudah disediakan fasilitas tempat nongkrong, malah dengan seenak udelnya meninggalkan sampah.
Kebiasaan saya dari dulu ke mana-mana pakai ransel. Kalau ransel saya masih muat memasukkan belanjaan, saya tidak perlu kresek. Beda halnya kalau ransel sudah penuh dan belanjaan yang saya bawa cukup banyak. Mirisnya lagi, masih banyak pembeli yang sembarangan membuang kantong kresek itu. Ini yang saya bilang, peraturan dan kesadaran masing-masing haruslah seimbang. Semoga setelah masa uji coba, peraturan ini dievaluasi secara menyeluruh. Masyarakat pun semakin sadar bahwa inti peraturan itu bukan 200 rupiahnya, melainkan kesadaran menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Ingat, bukan mengelola mantan. Jiaaah!
Ahiks! (sumber: http://pherrie.blogspot.co.id/2014/07/buanglah-mantan-pada-tempatnya.html)


Jogja, 030316


7 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Suka bagian buanglah mantan pada tempatnya wkwkwk #eh

    Iyaaaa, soal 200 msh ada bbrp yg berpikir "ah cuma 200 ini, gak berat", mungkin perlu evaluasi lg naikin harganya. Atau pemerintah menggalakkan lagi pemisahan sampah basah kering kyk jaman dulu (yg gak ada kelanjutannya -_-")

    keluargahamsa(dot)com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wong tilang 500 ribu aja msih bnyak yg mengentengkan ya, Mbak. :(

      Hapus
  3. ini bukan berarti mantan sama dengan sampah yang harus dibuang, kan? hihihihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus dibuang. Kalo bisa dimanfaatin. wkwkwk

      Hapus
  4. Kesadaran itu yg kurang bgt di kita ya mak. Yg sebel itu kalo pas car free day bubar acara sampah dimana2. Polusi udara ilang bbrp jam ganti sampah dimana2 :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Habit sbagian masyarakat Indonesia masih bnyak sperti itu, Mak Muna. :3 Tempat sudah sepi orang, tapi penuh sampah.

      Hapus