Selasa, 12 Januari 2016

Jadilah Pembaca yang Cerdas


Semakin hari, media online semakin membuat hati miris. Entahlah, saya tidak begitu paham dengan dunia pers. Apakah boleh judul berita memancing komentar negatif, menimbulkan interpretasi bermacam-macam? Apakah boleh judul berita tidak sinkron dengan isi berita? Biarlah sang ahli menjawabnya.  Saya hanya fokus ke tipikal pembaca. Sebagian besar pembaca semakin tidak cerdas. (Hati-hati, Dib, nanti didemo pembaca). Lah, wong saya juga pembaca berita. :v
Biasanya, saya hanya elus-elus lutut kalau sudah tak sengaja membaca sebuah berita serta ratusan sampai ribuan komentar. Semua jadi asyik sendiri, semua jadi merasa benar sendiri, semua jadi jago menyimpulkan sendiri. Sepertinya metode menelaah dan menyaring berita sudah tidak dipakai. Fenomena begini apakah media yang disalahkan? Teknologi yang perlu disalahkan? Tidak, bukan salah media dan teknologi. Otak dan hati manusianya saja yang perlu di-upgrade.
Teknologi semakin berkembang. Jika dulu orang berkirim kabar hanya dengan surat via burung merpati, sekarang merpati cukup bersantai di dahan pohon. Jika dulu menyampaikan rindu ke kekasih hanya dengan tulisan di dinding kelas atau surat dengan kertas warna-warni (Uhuk!), sekarang cukup kirim SMS, WA, status Facebook, dan sebagainya. Jika dulu mendengarkan berita hanya lewat radio yang baterainya kalau dilempar ke kepala Edib bisa bikin Edib kembali normal, sekarang cukup memantau beranda Facebook. Begitulah, teknologi semakin maju. Namun, apa otak kita semakin turun ke dengkul?
Media sosial dengan fitur share juga salah satu media yang membuat berita menyebar ke seantero dunia. Siapa pun bisa membaca. Manusia semakin “dibebaskan” berbicara lewat berita. Tak peduli berita itu valid, sekadar hoax, bahkan berita penuh modus supaya menyebar luas. Lewat status Facebook dan kicauan di Twitter pun orang leluasa menyampaikan pemikirannya, yang kadang tanpa “dipikirkan” lebih dulu.
Beberapa hari lalu, sebuah status lewat di beranda Facebook. Seorang teman share status seseorang berisi foto uang kertas dengan caption: “Uang baru 2016?, biasanya gambar Pahlawan, kok yg ini kenapa jadi gambar GENDORUWO."
Dua kalimat di atas asli dari sumbernya, tidak saya edit. Dua ribuan orang menge-like dan dua ribuan orang menge-share status itu. Terhitung seratusan orang berkomentar di statusnya. Hanya berdasar foto uang kertas dan dua kalimat itu, banyak komentator menghubungkan mata uang itu dengan pemerintahan sekarang. Contoh beberapa komentar: “rezim dajjal”, “gambaran ekonomi setan”, dan sebagainya.
Syukurlah ada komentator yang jeli. Dia kemukakan kalau foto itu mata uang pada tahun 1975. Mata uang Indonesia yang sudah langka alias kuno (Lihat di sini). Namun, meski sudah ada yang berkomentar cerdas seperti itu, tetap saja ada yang “tidak tergugah untuk menjadi cerdas”. Si pemosting foto itu berhasil memancing reaksi pembaca. Terlepas apa maksud statusnya, saya tidak pikirin. Tergantung pembacanya saja lagi, bisa apa tidak menahan diri?
Saya bukan bermaksud membela siapa pun. Saya menuliskan ini karena sudah tidak tahan menahan sesak di dada (Gubrak!).  Wong waktu pilpres saja saya golput. Keponakan saya meninggal tepat saat pilpres. Saya buta politik, tapi saya tidak pernah membutakan mata dan menulikan telinga untuk mengetahui perkembangan politik. Saya tidak pernah membenci politik meski banyak yang bilang politik itu penuh kepalsuan. Sebagai warga negara, saya tidak bisa lepas dari dunia politik.
Permasalahan di atas hanya contoh kasus. Masih banyak kasus lain yang berlalu-lalang di dunia online. Apa, sih, yang harus kita lakukan ketika membaca tulisan-tulisan yang bertebaran di jagat maya? Langsung menelan mentah-mentah? Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi pembaca yang asal terima, asal komen, dan asal share?
Pertama, kita harus belajar menahan diri. Sepasang kekasih saja kalau tidak pandai menahan diri bakal tak bertahan hubungan mereka. Sebentar-sebentar cemburu, sebentar-sebentar curiga, marah, dan sejenisnya. (Tahu apa kamu soal hubungan kekasih, Dib? Pletak!). Menahan diri di sini termasuk “menahan jempol”. Yup, jangan buru-buru berkomentar dan share berita.
Kedua, sebagai pembaca kita harus punya daya saring. Gunakanlah internet buat cari informasi dari berbagai sudut pandang. Masa internet cuma dipakai buat game atau cari jodoh? (Huuusss!). Jangan lupa, berdiskusilah secara sehat.
Ketiga, bersikap netral untuk hal yang kita tidak tahu pasti kebenarannya. Apalagi di dunia politik, kebenaran itu ibarat bau kentut di kerumunan orang. Bau, tapi sulit ditebak siapa yang kentut, kecuali ada yang mengakuinya.
Keempat, merenung dan dengarkan hati nurani. Benarkah kita bertindak sesuai hati nurani atau sekadar menuruti hawa nafsu? Jangan pakai emosi ketika membaca sebuah tulisan atau berita. Yang paling riskan tulisan dan berita yang menyangkut SARA. “Belum tentu tindakan yang kita anggap benar itu tepat.” Pola pikir instan membuat orang bertindak instan pula.
Kelima, sering-sering mengajak saya piknik atau travelling, ya. Hohoho.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Namun, saya terus berusaha mengurangi kesalahan dengan cara menjadi pembaca yang cerdas menelaah berita walau beritanya sekadar embusan angin.

Jogja, 120116

16 komentar:

  1. Poin terakhir harusnya dihapus. Hahaha

    BalasHapus
  2. Betul... makanya kadang saya lbh suka jd silent reader

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Mas Cahyanto. Jadi silent reader aja. :D

      Hapus
  3. Setuju. Makanya sbg pelaku media sosial kita pubya tugas yg gak ringan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul bgt, Bundcha. Gak cuma mikir enak n bebasnya aja, tapi mikirin efek yg kita lakuin meski sekadar like berita hoax. :)

      Hapus
  4. uhm... poin kelima itu agak gmana ya...

    ganggu kayanya :P

    BalasHapus
  5. Suka analogi buang anginnya :D :D

    BalasHapus
  6. Segala hal bisa menjadi kasus besar atau hilang sama sekali. Tergantung sampai ke tangan siapa berita itu.

    BalasHapus
  7. Segala hal bisa menjadi kasus besar atau hilang sama sekali. Tergantung sampai ke tangan siapa berita itu.

    BalasHapus
  8. Hai,. Mbk Edib. xixixi.. ini baru tahu alamat blogmu mbak (Hiksz)
    ah, benar sekali,.. sebelum share dan koment berita perlu ditelusuri valid dan tidaknya.

    .... :D
    nanti point kelima, travelling bareng ya. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Hidayah. #peluk
      Ayo, travelling bareng. Ditungguuu...

      Hapus
    2. Ayo,.. eh mBak Edib di Jogja kan ya? Wah saya ke jogja satu kali mbak. dan jatuh cinta sma toko bunya. Banyak refren dan murah meriah,..
      haduuhh.. pngen ksana lagi. Kuliner Buku. hikssss..

      Hapus