Jumat, 30 Desember 2016

Tak Bosan Menyusuri Jalanan Malioboro



Sekarang tampilan Malioboro mulai berubah. Parkir kendaraan sudah ditata demi kenyamanan wisatawan. Sepanjang jalan dilengkapi bangku-bangku panjang berbahan kayu. Sayang, entah kenapa aku melihatnya tampak gersang. Mungkin karena sepi pepohonan. Entah sudah berapa kali aku menikmati keramaian di Malioboro, Yogyakarta. Menyusuri jalanan Malioboro dari persimpangan Malioboro dan Stasiun Tugu hingga ke Titik Nol, bahkan ke Alun-alun Kidul. Apa yang aku lakukan sendirian? Tidak lain hanyalah menyelami keramaian yang ada. Jika para wisatawan berjalan kaki di Malioboro sembari bertransaksi beli ini itu, aku malah menyaksikan aktivitas para wisatawan itu. 
Beberapa waktu lalu. Tempat berteduh di sepanjang Malioboro.
Sesekali aku menghentikan langkah, sekadar melihat barang-barang yang dijual. Jika aku niat untuk membeli barang yang aku perlukan, tentu aku membelinya. Memperhatikan tingkah para pembeli seperti memperhatikan tingkah kupu-kupu yang terbang di antara bunga-bunga. Ada yang malu-malu mengisap sari bunga, ada yang tanpa henti tawar-menawar karena si bunga berlagak jual mahal, ada juga bunga yang menjual murah demi perkembangbiakan yang ditunggu-tunggu. Aih, macam apa perbandingan pedagang dengan bunga? -_-
Kadang aku ternganga menyaksikan pembeli yang ngotot menawar dengan harga tak masuk akal, sedangkan pedagang juga tak kalah keras kepala mempertahankan kenormalan harga. Di sinilah aku melihat pertandingan luar biasa melebihi pertandingan Bruce Lee dan Wong Jack Man. Ada pula pembeli yang sudah merasa harga barang itu murah banget, padahal pedagang menaruh harga dua kali lipat dari harga normal. Oow!
Penjual sate ayam
Kalau aku haus dan lupa bawa air mineral, aku mampir di warung untuk beli minuman. Dan, sampai sekarang, aku tidak warung mana yang menjual minuman semacam jus dan es buah yang enak. Pernah sekali mampir ke warung jus buah yang kalau dilihat sepintas lumayan bagus. Buah-buah yang dipajang segar dengan tempat duduk yang bagus. Harganya lumayan mahal. Lima belas ribu rupiah. Pas aku beli, alamak! Rasa buahnya minim sekali. -_-
Sekali juga pernah singgah di warung es kelapa dan es buah. Duhaaai, mending bikin sendiri lah. Buahnya seuprit dan asal bikin saja kayaknya si ibu. Oh, iya, pernah juga aku lapar dan mampir di gudeg dan pecel bakul di depan Pasar Bering Harjo. Awalnya aku pikir makan di situ murah dan standar, lah. Oalah, ternyata harganya lumayan mahal. Nggak lagi deh mampir di situ.
Sudah banyak yang tahu, banyak harga makanan di kawasan Malioboro memang rada-rada egois, apalagi lesehan di malam hari. Banyak yang protes sih mengenai harga makanan, tapi mau gimana lagi? Bisnis adalah bisnis. Sekali pernah aku makan enak dan lumayan murah itu di samping Ramayana. Ada menu ikan patin yang enak banget. Satu lagi yang aku suka itu lumpia. Enak rasanya meskipun terus naik harga. Angkringan di depan Stasiun Tugu juga begitu. Harganya makin naik dan sesuka hati penjualnya naruh harga. 
Lumpia kesukaan
Kalau jalan di Malioboro malam hari kamu bakal melihat banyak penjual wedang ronde. Sayang, aku belum menemukan wedang ronde yang benar nagih dan jahenya berasa banget. Infokan ya kalau tahu wedang ronde yang enak, teman-teman. Maklum, aku penikmat wedang ronde sejak zaman SD. :D
Satu hal yang aku sukai di Malioboro adalah pengamen. Kalau ada pengamen yang suaranya lumayan bagus dan musik yang lumayan bagus pula, aku bisa nagih nambah lagu. Tentunya dengan imbalan, dong. Jogja memang gudangnya pengamen. Dari pagi sampai kembali pagi. Nonstop!
Nggak afdol kalau nggak lesehan di trotoar macam ini.
Nah, aku pernah ngobrol sama seorang driver Gojek yang ternyata pemusik jalanan. Setelah jadi driver, dia berhenti jadi pemusik jalanan. Dia bergabung dalam satu tim musik di kampungnya. Mereka sering latihan dan “manggung” dari jalanan ke jalanan, dari warung ke warung. Tim musik ternyata sangat banyak di Jogja. Mereka punya paguyuban atau komunitas sendiri untuk mengatur lahan supaya adil dalam mencari nafkah.
Tak hanya memperhatikan tingkah polah wisatawan, di Malioboro juga bisa menyaksikan tingkah polah nonwisatawan. Pengamen, pengemis, pedagang, penjual minuman keliling, penjual sate yang merantau dari Madura, tukang andong, tukang becak dengan senjata andalannya “5.000 saja”, dan sebagainya. Malioboro masih nyaman kok untuk dikunjungi. Buktinya aku tak pernah bosan menyusuri jalan Malioboro. Hanya saja, segala sesuatu memang perlu pembenahan dari waktu ke waktu.
Titik Nol Malioboro

Mengalunlah sebuah lagu KLA Project, Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgia. Saat kita sering luangkan waktu. Nikmati bersama. Suasana Jogja.”

Jogja, 301216

Rabu, 14 Desember 2016

Penjual Sapu



Sumber gambar: http://banjarmasin.tribunnews.com


Di sebuah pos ronda, seorang bapak duduk sembari menyedot es teh dari plastik. Sapu-sapu masih tersusun rapi di samping tubuhnya. Iseng aku hitung jumlahnya sembari memperlambat jalanku. Ada dua belas sapu. Pas satu lusin. Entah sudah adakah yang laku atau tidak.
Seketika aku teringat sekolahku dulu di sebuah gang di kawasan padat bernama Kelayan. Orang Banjarmasin tak mungkin tak kenal Kelayan. Kawasan padat yang hampir tak ada celah atau jarak antara satu rumah dan rumah lainnya. Di dekat sekolahku, banyak pengrajin sapu ijuk. Setiap hari pasti aku melewati tumpukan ijuk di pekarangan yang tak seberapa luas.
Seketika aku teringat sapu di rumah yang tak berbahan ijuk, tapi plastik. Sapu plastik produksi pabrik. Jika disuruh memilih apakah sapu ijuk atau sapu plastik, kamu pilih yang mana, Kawan? Kata temanku, “Aku beli sapu plastik aja. Lebih awet dan nggak rontok.” Aih, Kawan, rupanya permasalahan rontok tidak hanya menyangkut rambut atau dana di pemerintahan, kerontokan sapu pun menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan.
 “Lantas, kamu pilih yang mana?” tanya temanku.
Aku bingung mau pilih yang mana. Kamu tahu, aku terlalu sibuk mempertimbangkan apakah aku harus menyapu atau tidak. Sebab, ada satu sudut yang selalu lupa aku sapu. Ketika aku sudah terbatuk-batuk sebab debu makin menebal, aku tak jua menganggap menyapu sendiri sudut itu begitu penting. Aku malah makin sibuk menjadi mandor tukang sapu. “Bapak, sapu lantai itu!”; “Ibu, kenapa lantai ini masih kotor. Sapunya jelek?”; “Banyak debu dan pasir. Apa lama tidak disapu?”; atau “Sapulah rumahmu biar enak dilihat.” Ya, aku makin sibuk memandori orang-orang, sedangkan aku abai dengan kewajiban menyapu sendirian.
“Beli sapu, Mbak?” tanya si Bapak. Rupanya jalanku tak lagi melambat, melainkan aku terdiam sembari menggigiti kuku jemari tangan. Si Bapak tak lagi memegang bungkusan plastik berisi es teh tadi. Malah bungkusannya melayang tak jauh di samping kakinya. Ingin aku berucap, “Pak, itu ada tempat sampah.” Ah, aku lagi-lagi tergoda menjadi mandor ketika melihat orang bertindak tak sesuai koridor. Aku tak lagi ingat soal lantai kamar yang semakin kotor dan sudut-sudut hatiku yang semakin penuh debu.

Jogja, 151216

Jumat, 18 November 2016

Setelah Ibu Kos Berkata, “Bulan Ini Naik, Ya!”


Ini edisi curcol pakai banget. Ceritanya awal November tadi ketika aku mau menyerahkan uang kos, tiba-tiba Ibu Kos berkata, “Bulan ini naik, ya. Tambah lima puluh ribu. Listriknya naik.”
Whaaat??? Sumpah, ini cuma reaksi dalam hati. Di permukaan mah kalem banget. “Kenapa bilang mendadak, Bu. Mungkin lebih baik bilangnya sebelum pembayaran,” ucapku berlagak kalem. Si Ibu selalu bilang naik saat aku mau menyerahkan uang kos di awal bulan. Nggak ada mukadimahnya gitu, deh.
“Kemarin lupa bilang,” kata Ibu.
“Maaf, Bu, naiknya bisa bulan depan sajakah?”
“Bolehlah. Bulan depan, ya,” jawab Ibu.
Urusan naik ongkos kos pun menemukan titik final: Ongkos kos tambah lima puluh ribu rupiah bulan depan. Berapa, sih, besarnya lima puluh ribu? Mungkin bagi yang terbiasa nongkrong di kafe ala Teko dan Asbak duit lima puluh ribu mah kecil. Apa ruginya menambah duit lima puluh ribu sekali sebulan? Namun, bagiku ini bukan soal kecil atau besar (meski uang segitu berharga banget bagi karyawan baru dan jauh dari keluarga sepertikuuu! Bisa buat makan tiga hari kalau di Jogja. Hahaha). Semenjak memutuskan merantau, semua biaya hidup otomatis ditanggung sendiri. Lah, kalau dulu mah tinggal numpang di Kakak dan ortu, nggak mikir biaya rumah. Makan tinggal ambil. Minum tinggal pencet dispenser. Mau masak tinggal ambil bahan di kulkas. Sekarang? Boro-boro. Semua serba diurus dan bayar sendiri. Aku kos sudah satu tahun tujuh bulan. Beberapa bulan lalu baru dinaikkan kosnya sama Ibu Kos. “Nambah lima puluh ribu, ya. Listrik naik. Tenang, nanti nggak bakal dinaikin lagi, deh,” kata si Ibu.
Nah, omongan ini yang kupegang >>> “Tenang, nanti nggak bakal dinaikin lagi.” So, kenapa dalam waktu beberapa bulan sudah dinaikin? Listrik naik? Oke, aku cek penggunaan listrikku. Malah berkurang, lho. Beberapa bulan ini aku jarang sekali menyalakan laptop. Setrika pun sudah tidak kupakai karena aku mencuci pakai jasa laundry (ngelaundry di sini murah banget. Sekilo cuma dua ribu lima ratus rupiah). Terakhir, aku tidak pernah nyuci baju kecuali pakaian dalam. So, penggunaan air yang tentunya pakai listrik itu berkurang.
Sebenarnya tarif kos di sini jauh lebih mahal dari kos lainnya. Dari awal sampai naik yang pertama saja sudah lebih mahal, apalagi kenaikan yang kedua ini. Kamar kos pun lebih gede kamar kos temanku. Aku masuk kamar setelah membayar uang kos. Semadi! Jeda sepuluh menit, segera aku hubungi teman di kos depan. “Yun, ada kamar kosong nggak?” Aku kirim pesan ke Ayun, teman satu kantorku yang kos di depan, dekat jalan raya. Nah, kosku sekarang di sebelah kantor, tapi jauh dari jalan raya dan toko-toko.
Setelah menunggu sekian menit, Ayun mengabarkan ada dua kamar kos kosong. Aku tanya tarif kos. Lumayan lebih murah 150 ribu (paling sedikit 100 ribu) dari kos di sini. Jarak ke kantor pun sebenarnya nggak terlalu jauh, sekitar 400 meter saja.
“Oke, Yun, tolong bilang ke Ibu, ya, aku pindah akhir bulan, ya. Baru bayar kos soalnya. Nanti besok-besok aku ke ibu kosmu,” jawabku ke Ayun.
Jadi, sekarang sibuk mau (penekanan: mau!) beres-beres kamar buat pindahan akhir bulan ini. Awalnya rada mikir capek duluan. What? Pindahan? Pindahan, bagaimana pun hal yang rempong bin melelahkan. #inidrama Bungkus ini itu, angkut ini itu, bongkar ini itu, susun ini itu. Huuusss! Drama kumaaat!
Beberapa hari kemarin sempat sakit lumayan bikin badan lemas dan nggak bisa ke mana-mana. Jumat malam-Senin full di kamar. Selasa masuk kerja meski badan masih lemas banget. Hari ini sudah lumayan, makanya bisa update blog yang penuh debu dan dosaaah. Sempat mikir, “Ini gimana mau pindah akhir bulan ini?” Hahaha, lebay parah. Padahal, masih lama, setengah bulan lagi. Wajarlah. Pertama, aku nggak pernah pindah kos (Eh, pernah ding waktu kuliah, pindah kamar ke gang lain. Pernah bantu Kakak pindah rumah juga. Tuh kan si Edib lebaynya nggak ketulungan). Kedua, karena jauh dari orang tua dan keluarga. Lah, dulu kuliah juga jauh dari orang tua. Tapi, dulu pindahnya barengan sama teman-teman satu asrama. Tukaran kamar gitu. Mungkin karena aku lebay aja. Harus melakukan sendiri. Mau minta bantuan teman juga lucu dong. Masa pindahan seuprit gini aja mesti manggil bala bantuan. :D Intinya kecemasan aku saja sih karena kondisi ngedrop kemarin. Cemas bakal tertunda pindah kos. Cemas bla bla bla….
Sudahlah berhenti curcolnya. Ini pikiran sudah tersusun rencana pindah. Ransel gede dan tanggung diisi pakaian semua (Buseeet, bajuku kebanyakan kaus branded. Branded kecap ini, smartphone itu, film anu. Hasyeeem!). Dua kantong belanja supergede diisi buku-buku. Plastik gede diisi perkakas makan dan alat dapur yang seuprit. Ransel kecil diisi perkakas lainnya. Dus kipas angin dan magic com, meja kecil, bantal, dan satu plastik berisi macam-macam benda entah apa saja. Halah, ini bungkusan-bungkusan masih dalam bayanganku, saudara setanah air sebangsa senasib sekos sekalian! Masih sepuluh hari lagi, kan. Belum bilang teman juga buat bantuin ngangkut barang-barang di hari H. Bahkan, belum bilang ke Ibu Kos mau pindah. Pikirku, nanti aja pas mepet harinya. Hasudahlah! :v