Rabu, 30 Desember 2015

Kompor Semangat Itu Bernama Fun Blogging


Saya termasuk penulis kamar. "Penulis kamar", saya kutip dari ucapan Mbak Haya Aliya Zaki. PC saya penuh dengan tulisan fiksi (puisi dan cerpen) maupun nonfiksi. Banyak tulisan yang saya simpan saja, tanpa pernah dipublikasikan. Beberapa puisi dan cerpen pernah saya publikasikan lewat berbagai lomba ataupun sekadar di wall Facebook. Saat itu saya tidak tertarik sama sekali membuat blog. Pertama mengenal dunia medsos hingga sekarang, saya lebih aktif di Facebook.
Dulu penulis kamar, sekarang sebutlah saya penulis tanah lapang. Eh, sedikit lapang, lah. Saya seperti tertampar ketika banyak tulisan yang bisa menginspirasi orang lain, sedangkan saya hanya sibuk dengan dunia lain (Pocong kali!). Tulisan itu, kan, tujuannya untuk dibaca. Bagaimana bisa dibaca orang lain jika penulisnya sendiri mengurung diri di kamar? Sering travelling, tapi tidak pernah menuliskan kisah perjalanannya. Saya dulu miris banget, ya. :(

      Dua tahun lalu, saya dikenalkan seorang sahabat pada dunia blogging. Terus terang saya sangat gaptek. Pikiran sempit membuat saya enggan membuka diri untuk lebih melek teknologi. Atau, mungkin saya kategori setia, cuma aktif di Facebook? Seperti kesetiaan saya menunggu kamu, iya, kamu! (Aih, abaikan ini!). Meskipun enggan membuat blog pribadi, saya rajin "berkeliaran" di blog-blog.
Mei 2013, admin grup kepenulisan mengundang seorang blogger untuk mengajari anggota grup secara online. Bahan yang diajarkan dasar banget, yakni cara membuat blog. Momen bulan Mei itulah pertama kalinya saya kenal Mbak Shinta Ries. Dia dengan sabar membimbing anggota grup.
(sumber gambar: https://tanpaakhir.wordpress.com/2013/07/07/gaptek/)
Lama-lama, saya jadi tahu bagaimana perkembangan dunia blogging. Saya tahu blogger juga tak beda jauh dengan wartawan. Blogger juga menulis reportase setelah menghadiri sebuah acara. Kan, tugas blogger tak beda jauh dengan wartawan: Menulis berita aktual. “Jadi blogger itu ternyata keren,” ucap saya suatu hari. Beberapa kali saya diajak teman hadir di acara blogger. Berkat kenal dengan blogger, saya pernah diajak baca puisi bersama di depan Menteri Kesehatan. 
Seorang teman mengajak saya ikut Fun Blogging. Kok bisa dia menawarkan ikut Fun Blogging, sementara dia tahu saya sudah lama tidak menulis di blog? Tapi, apa salahnya ikut? Pasti saya akan mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman. Selama saya masih berpegang pada prinsip “Belajar itu bisa dari mana saja”, tidak ada ruginya ikut Fun Blogging. Kalau tidak salah, saya didaftarkan di Fun Blogging 5. Tapi, jadwalnya bentrok dengan pekerjaan di kantor. Saat itu saya baru merantau dari Banjarmasin ke Yogyakarta. Saya bekerja di sebuah penerbitan. Sebagai karyawan, tentu saya tidak bisa sebebas dulu yang bisa travelling kapan pun dan ke mana pun.
Akhirnya, kesampaian juga ikut Fun Blogging 8 yang diadakan pada hari Sabtu, 19 Desember 2015, di Gratia Center, Jl. Ciputat Raya, Pondok Pinang, Jakarta. Jumat sore saya berangkat dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, dan sampai di Stasiun Senen tengah malam. Setelah istirahat sekian jam di rumah teman, pagi Sabtu saya berangkat ke Gratia Center dengan diantar teman.
Jam di handphone sudah menunjukkan pukul 08.20 WIB. Saya bertanya tempat acara ke satpam di depan gedung Gratia Center. Dia bilang saya masuk ke ruangan sebelah kanan. Di dekat meja resepsionis, ada seorang perempuan berjilbab cokelat muda duduk. Saya seperti mengenalnya meskipun belum pernah ketemu langsung. Langsung saja saya tembak (Aih!), “Mbak Haya, kan? Sudah mulai, ya, Mbak?”
“Benar,” jawab Mbak Haya, ramah.
“Saya Lathifah Edib.”
“Oooh, Lathifah Edib. Ayo, masuk masuk. Acaranya belum mulai, kok,” sahut Mbak Haya.
Saya pun masuk ke ruangan. Ternyata peserta Fun Blogging kali ini lebih banyak dari Fun Blogging sebelumnya. Sebelumnya cuma maksimal 30 orang, sedangkan sekarang sekitar 45 orang. Wajarlah bila ruangan ini terkesan pas-pasan luasnya. Tidak sempit, juga tidak luas. Meskipun tanpa sound system (mikrofon), suara pemateri sangat terdengar jelas. Jadi, ini bukanlah kendala yang berarti. Mungkin, para pemateri saja yang perlu mengeluarkan suara yang full power. Syukurlah para peserta anak baik semua. Tidak ada yang “arisan sendiri”. Sekadar saran, jumlah peserta untuk Fun Blogging berikutnya jangan sampai lebih dari 30 orang. Tiga puluh orang itu menurut saya sudah cukup maksimal. ^_^


Para peserta sibuk ngetwit dengan gadget masing-masing. ;)
Di ruangan, ada empat meja panjang seperti meja meeting. Satu meja bisa memuat sekitar 12 orang. Saya perhatikan wajah-wajah peserta, memastikan adakah orang yang saya kenal. Saya tipikal yang tidak gampang akrab dengan orang lain. Bukan berarti sombong, ya. Sumpah terkewer-kewer, saya ini ramah, suka membanyol, manis pula (Huhuuu!). Komunikasi saya payah saat pertama kali bertemu orang lain.
Pandangan saya tertuju ke satu orang: Mbak Lita Chan Lai! Kami pernah beberapa kali ketemu. Peserta lainnya yang saya kenal ada Mbak Echa dan Mas Dede. Ini juga karena beberapa kali ketemu. Peserta lain ada yang saya kenal cuma lewat nama. Pengin banget nyamperin, tapi malu. -_-
Saya duduk di samping Mbak Lita, satu meja dengan Mbak Echa dan Mas Dede. Sebelum berangkat, saya cuma sempat sarapan minuman sereal. Syukurlah panitia menyajikan bermacam kue. Perut sudah penuh, acara Fun Blogging pun dimulai. Tema Fun Blogging 8 adalah “Dari Hobi Menjadi Profesi”. Temanya sangat “mengundang selera”. Zaman sekarang, profesi/pekerjaan yang sesuai hobi jelas sangat diminati.
Mbak Martha dari IWITA
Acara diawali sambutan oleh Mbak Martha, perwakilan dari IWITA. IWITA (Indonesian Women IT Awareness) merupakan Organisasi Perempuan Indonesia Tanggap Teknologi. Mbak Martha menyampaikan sekilas tentang IWITA dan menawarkan kepada siapa saja yang ingin bergabung ke IWITA. Perempuan atau laki-laki, semua bisa bergabung ke tim IWITA. Satu pesan dari Mbak Martha yang saya catat: “Konsisten itu jalan untuk menuju sukses.” Pesan ini seiring sejalan dengan tujuan Fun Blogging, yakni menumbuhkan konsistensi dalam menulis.
Selanjutnya, materi pertama “Writing Great Content” disampaikan oleh Mbak Haya Aliya Zaki. Materi yang dia sampaikan sebagian besar berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai editor. Wah, saya sangat senang dengan materi ini!
Selama berkeliaran di blog-blog, saya menyimpulkan permasalahan utama para blogger adalah EYD dan self editing. Banyak yang beranggapan EYD itu momok menakutkan, bahkan ada yang pasrah karena merasa sulit memahami EYD. Padahal, mempelajari EYD dan self editing bagi seorang blogger adalah kewajiban. Blogger itu juga seorang penulis, bahkan blogger itu selevel dengan jurnalis. Tulisan seorang blogger tentunya bukanlah tulisan asal jadi, melainkan harus melewati tahapan demi tahapan teknik penulisan.
Di dunia penerbitan, naskah harus melewati proses penyuntingan, lay out, hingga naskah naik cetak. Untuk proses penyuntingan saja bisa melewati dua atau tiga proses dari orang yang berbeda. Nah, bagaimana dengan blog pribadi? Apakah melewati tahapan seperti itu? Namanya blog pribadi, tentunya tidak melewati tahapan yang perlu banyak orang. Maka, diperlukanlah self editing.
Mbak Haya tidak pernah bosan menjawab pertanyaan peserta. Sssttt... itu goodie bag! ;)
Self editing adalah penyuntingan tulisan yang dilakukan secara mandiri oleh seorang penulis. Yang paling dasar adalah penguasaan EYD, seperti penempatan tanda baca (titik, koma, seru, tanya), huruf kapital, dan sebagainya. Bayangkan, sebab keliru penempatan tanda koma saja, tulisan kita akan menimbulkan salah paham. Lihatlah perbedaan kalimat "Mama sedang makan, Edib" dan kalimat "Mama sedang makan Edib". Fungsi tanda koma sebelum "Edib" pada kalimat pertama untuk menunjukkan kata sapaan, sedangkan "Edib" pada kalimat kedua menunjukkan objek. Mengendapkan karya sebelum dipublikasikan juga penting. Caranya dengan dibaca berulang-ulang.
Penyampaian Mbak Haya tentang teknik penulisan sangat gamblang. Para peserta tampak antusias menyimak materi. Mbak Haya juga menyampaikan cara agar tulisan kita banyak dibaca orang lain. Tampilan blog jangan sampai membuat pembaca ngucek-ngucek mata. Blogger harus punya style atau gaya tersendiri. Style tulisan kita akan mampu menjaring pembaca yang selalu setia menanti tulisan kita. Berbeda dengan tulisan jurnalis di media, tulisan blogger lebih santai dan tidak terikat hal yang baku. Menambah emotikon, misalnya, sama sekali tidak dilarang. ;)
Mbak Dewi dari Sari Husada.
Sebelum ishoma, Mbak Dewi dari SariHusada, menyampaikan sekilas tentang program “Nutrisi untuk Bangsa”. Program ini sama sekali tidak berhubungan dengan promo produk Sari Husada, melainkan program meningkatkan kepedulian masyarakat akan masalah-masalah gizi di Indonesia, terutama kesehatan gizi ibu dan anak. Mbak Dewi juga memaparkan tentang Jelajah Gizi.

      Jelajah Gizi bukan sekadar jalan-jalan menikmati pemandangan, tapi juga menelusuri keragaman makanan Nusantara, serta mengetahui cara pembuatan makanan dan kandungan gizi dalam makanan tersebut. Bagi seorang traveller, Jelajah Gizi ini tentu sangat menarik untuk diikuti. Nutrisi untuk Bangsa juga sering mengadakan lomba untuk penulis, khususnya blogger. "Mengikuti lomba-lomba menulis berguna banget untuk meningkatkan kemampuan menulis," kata Mbak Haya.
Sembari menikmati makan siang berupa nasi Bali, para peserta ngobrol santai. Saya menahan diri tidak memakan sambalnya yang sangat menggoda. Tidak lucu, kan, nanti diare di tengah acara. -_- Eh, dari awal acara, suasananya dibuat sesantai mungkin. Saya pun sempat ngobrol dengan Mbak Haya. Kami saling berbagi kisah suka dan duka menjadi seorang editor.
Berlanjutlah ke materi kedua. Kali ini pematerinya Mbak Shinta Ries. Materinya tantangan buat saya yang gapteknya amit-amit. Selain itu, rasa kantuk mulai menyerang, saudara-saudara! Saya telusuri seantero ruangan, adakah kopi hitam buat meredakan kantuk? Okelah, abaikan kopi yang rupanya jual mahal saat saya butuhkan. Masukan dari saya, sediain kopi, ya, pas Fun Blogging berikutnya. Memang boleh ikut lagi? Pletak! :D
Mbak Shinta, beli bajunya di mana? #gagalfokus. -_-
Untungnya, Mbak Shinta Ries menyampaikan materi “Advancing Your Blog Platform” dengan suara yang merdu, mengalir ringan, dan enjoy. Kelihatan Mbak Shinta Ries ini sudah terbiasa menjadi pemateri. Kantuk saya terobati sedikit (Maafkan kalau ini gombal, Mbak Shinta. :D ).
Materi tentang blog platform ini sebenarnya sangat menarik. Para peserta antusias bertanya. Mbak Shinta yang memang ahli di bidang desain blog/website menjawab dengan detail. Apalagi ketika sampai ke topik cara menaikkan klout score, Google Analytics, dan blogging yang menghasilkan uang, wih, semangat banget. Namun, saya harus berusaha keras memahami dan mencatat istilah-istilah yang dipaparkan Mbak Shinta. :D Syukurlah kumpulan materi dikirimkan via e-mail dua hari setelah acara. Tips-tips cantik dan menarik dibagi secara gratis oleh Mbak Haya, Mbak Shinta, dan Mbak Ani Berta, si pamateri berikutnya.  
“Domain gratisan sangat bermanfaat dan menghasilkan bila digunakan dengan optimal,” kata Mbak Shinta Ries.
Lagi-lagi kesuksesan itu berhubungan dengan konsistensi. Konsistensi tak beda jauh dengan usaha optimal. Ini PR bagi saya. Yang terpenting konsistensi menulis dan keinginan kita untuk belajar dan belajar. Domain berbayar tidak menjamin akan menghasilkan uang jika tidak dikelola dengan apik. Mbak Shinta Ries menjelaskan perbedaan domain gratisan dan domain berbayar.
Mbak Ani Berta yang selalu emangat!
Selanjutnya, Mbak Ani Berta memaparkan materi “How to Monetize Your Blog Through Branding”. Ini materi yang ditunggu-tunggu. Mbak Ani Berta mentransfer ilmu dengan penuh semangat. Para peserta tak kalah antusias menyimak materi demi materi. Bagaimana tidak, para peserta dibuat “ngiler” ketika Mbak Ani Berta menyampaikan trik-trik biar dapat job review dan menjadi buzzer medsos! Jangan salah, fungsi medsos tidak hanya untuk bikin status atau twit galau (Ayo ngaku, Dib!), tapi juga bisa menghasilkan uang. Bagaimana caranya? Penasaran? Ikutlah Fun Blogging berikutnya, ya! Tim Fun Blogging mungkin bakal berkunjung ke kota-kotamu. ;)
Media sosial semakin berkembang seiring berkembangnya teknologi. Mati kutulah saya jika masih saja setia dengan Facebook, tanpa menoleh ke Twitter, Instagram, Path, dsb. Tapi, saya sudah punya akun Twitter dan Instagram, lho. Searching nama Lathifah Edib, pasti muncul nama saya yang unik itu (Pede akut!) Jangan lupa follow, ya. Promo itu wajib. Haha!
Kekompakan tim Fun Blogging ketika menyiapkan materi. ;)
Pelajaran yang penting dari keseluruhan materi di Fun Blogging 8 adalah attitude dan komunikasi. Yup, di segala bidang profesi, attitude dan komunikasi yang baik adalah modal utama. Kita harus tahu bagaimana etika di media sosial, bagaimana menolak tawaran job dengan cara yang tidak menyakiti dan tidak memutus silaturahmi, dan yang terakhir hindari tindakan plagiat! Sekali kita melakukan plagiat atau "copasus" (meminjam istilah seorang teman, "copy paste ubah sedikit"), maka tercorenglah nama kita selamanya. Syukur-syukur bisa mengembalikan nama baik dengan berkarya lebih baik. Jika tidak? Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang, kata si Ebiet G. Ade.
 
Foto bersama itu wajib. (dokumentasi IWITA)
Beberapa waktu lalu, seorang blogger "mana-manasin" saya. "Nggak enak jadi karyawan itu. Mending serius ngeblog sambil freelance ngedit. Percayalah, ini menghasilkan dan kamu nggak bakal terikat waktu. Kamu bakal bisa travelling kapan aja."

        Tarik napaaas! Sebenarnya bukan masalah saya jadi karyawan. Saya pasti bisa mengoptimalkan blog meskipun masih berstatus karyawan. "Kadang, hambatan kita melakukan hal baik itu bukan karena tidak adanya kesempatan, melainkan terlalu asyik menghitung kendala dan takut tantangan." Itu masalahnya. Buang rasa malas! Gunakan media sosial seefektif mungkin. Belajar berkomunikasi dua arah. Jangan asyik sendiri. (Ini saya banget. Pletak!) Daaan, ayo melek teknologi!

       Terima kasih, tim Fun Blogging dan semua sponsor yang mendukung acara ini (Sari Husada, IWITA, Qwords.com, Pixy, dan DAG). Kalian berhasil jadi kompor semangat saya. Semoga saya semakin rajin dan konsisten menulis, serta kegaptekan semakin luntur. :D Semoga Fun Blogging terus menghasilkan blogger-blogger keren!
(sumber: https://terfirman.wordpress.com/2014/07/22/tak-ada-kata-terlambat/)


Jogja, 301215

Sabtu, 26 Desember 2015

Membaca Korupsi



(sumber ilustrasi: di sini)


Melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang adalah hal yang harus dilakukan seorang penyimak berita. Tak terkecuali berbagai kasus yang menghiasi berbagai media. Kita, sebagai pembaca, hanyalah orang luar yang tidak tahu sebenar bentuk jeroan. Namun, tidak menutup kemungkinan kita bisa menyimpulkan apa dan bagaimana permasalahan itu terjadi.

Ingatkah sosok presiden RI yang memerintah Indonesia selama 32 tahun lamanya? Meskipun posisi sang presiden jatuh saat terjadinya reformasi Mei 1998, meskipun berbagai kalangan berkata dialah penyebab utang negara bejibun jumlahnya, Soeharto tetaplah mantan nomor orang satu di negeri ini. Sebobrok apa pun sikapnya, tak bisa dimungkiri, Soeharto pernah dipuja, dielu-elukan, bahkan diimpikan rakyat untuk bisa bersalaman langsung dengannya. Memang, selalu ada sisi hitam, putih, dan abu-abu dalam hidup seseorang.

Ya, hitam, putih, dan abu-abu, adalah gambaran hidup seorang pejabat. Semakin maraknya kasus korupsi, tak serta-merta membuat mata begitu peka menilai ini hitam, itu putih, atau ini abu-abu. Semua begitu samar. Beberapa politisi yang awalnya begitu getol berjuang di zaman reformasi, malah ada yang terjebak kasus korupsi. Beberapa tokoh yang semula adalah seorang aktivis pemberantasan korupsi, juga tersangkut kasus korupsi. Lantas, bagaimanakah kita sebagai seorang yang awam politik melihat berbagai kasus?

Saya seorang penulis puisi yang cukup getol memuisikan kebobrokan pejabat-pejabat korup. Korupsi tetaplah penyakit yang harus disembuhkan hingga ke akarnya. Selain itu, korupsi juga haruslah diedukasikan kepada generasi bangsa. Edukasi yang bagaimana? Edukasi kepada anak-anak didik bahwa korupsi itu berawal dari hal yang kecil. Terkadang, sesuatu yang semakin berkembang itu berawal dari kekeliruan sikap yang dianggap wajar. Contoh kecil, menyuap polisi ketika ditilang. Ini jelas sikap salah yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat.

Sebenarnya apa sih penyebab orang korupsi? Menumpuk harta? Mencari kepuasan demi kepuasan? Saya teringat dengan sosok Jero Wacik yang dijadikan tersangka kasus korupsi beberapa waktu lalu. Jero Wacik, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2004-2011) serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2011-2014), disangkakan merugikan negara miliaran rupiah. Pertanyaan saya, kok bisa seorang Jero Wacik korupsi?

Seperti yang telah banyak diketahui, pada masa jabatannya, Jero Wacik telah berhasil menoreh banyak prestasi. Selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik berhasil menaikkan devisa negara dari  3 miliar dolar Amerika menjadi 6 miliar doalr Amerika. Jero Wacik juga menghidupkan dunia perfilman Indonesia dengan diadakan kembali FFI, yang sempat vakum sejak tahun 1992. Dunia perfilman Indonesia pun semakin maju hingga sekarang. Tidak salah jika mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadikannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam dua periode.
 
(sumber ilustrasi: di sini)

Saat menjabat sebagai Menteri ESDM, Jero Wacik mampu menaikkan produksi proyek Cepu naik menjadi 165 ribu barel per hari setara dengan 86 triliun rupiah per tahun. Penyelesaian pembangkit listrik tahun 2011 hingga 6000 MW dan renegosiasi harga gas tangguh yang semula 2,7 dolar per metrik ton, menjadi 8 dolar per metrik ton.

Logika saya berpikir, jika memang benar seorang Jero Wacik korupsi, kok bisa cuma mengambil “seupil”? Aih, saya jadi membandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya yang merugikan negara triliunan rupiah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral adalah lahan yang basah. Berbagai kasus korupsi pernah terjadi di kementerian ini. Salah satunya adalah kasus Jacobus Purwono, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun  2007-2008. Jacobus Purwono dijadikan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan sistem listrik tenaga matahari untuk rumah tangga. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 119 miliar (baca di sini). Kasus lain yang fenomenal dan tidak rampung-rampung adalah mafia migas, yang bernilai ratusan triliun rupiah.

Lagi-lagi, saya mencoba bermain logika. Istilah yang dipakai KPK kepada Jero Wacik adalah pemerasan. Ya, Jero Wacik disangkakan melakukan pemerasan dalam penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM) sehingga merugikan negera sebesar 9,9 miliar. Bandingkanlah, jomplang banget 9,9 miliar dibanding 199 miliar, bahkan ratusan triliun rupiah itu. Seorang Jero Wacik, pimpinan tertinggi di ESDM, terlibat kasus pemerasan? Pemerasan yang bagaimanakah? Siapa yang diperas? Bagaimana proses pemerasannya? Mendengar kata “pemerasan”, pemikiran saya sebagai orang yang awam hukum adalah tindak kriminal yang “tidak elegan” sekali.

Pemerasan identik dengan pemaksaan kehendak, perampokan, dan intimidasi, menurut saya. Atau, mungkin ada pemerasan kelas kakap? Ibaratnya, perampok kelas kakap tentu berbeda dengan level maling sandal. Kecerdasan Jero Wacik tidak perlu diragukan lagi. Dia lulusan terbaik ITB. Perjuangan hidupnya dari kecil hingga menjadi orang sukses patut diacungi jempol. Sebelum Jero Wacik terjun di dunia politik, dia adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Dia pernah puluhan tahun bekerja di perusahaan industri otomotif, menjabat sebagai Goverment Sales Manager. Setelah itu, dia berwiraswasta dengan mendirikan dua perusahaan pariwisata dan satu perusahaan tekstil. (baca di sini). Ketika membaca kasus Jero Wacik ini, terbayanglah bagaimana sosoknya yang berwibawa.



Bukan berarti saya membenarkan pencurian kelas teri. Sama sekali tidak. Pencuri, ya, pencuri. Korupsi, ya, korupsi. Koruptor harus dihukum berat. Saya hanya mencoba melihat dari sisi lain. Politik, hukum, dan korupsi semakin abu-abu. Sulit ditebak siapa otak, siapa pemain, siapa korban, siapa yang dikorbankan, dan siapa tukang sorak-sorak bergembira. Apa pun keputusan sidang kasus-kasus korupsi, khususnya kasus Jero Wacik, semoga sudah sesuai dengan hati nurani dan nilai keadilan. Semoga!