Ketika ada yang bertanya tentang hakikat puisi, aku terdiam. Diam, tapi mempertanyakan balik ke diriku sendiri. "Apa itu puisi?" Apakah puisi sekadar membuang kebebalan pikiran? Apa sekadar meluapkan kesunyian dan kegalauan? Apa puisi sekadar ungkapan rasa tanpa jiwa? Rasa tanpa jiwa, jelas bukan itu jawabannya.
Ketika ada yang bicara "Puisi itu bahasa rasa tanpa ditunggangi kepentingan apa pun", aku terdiam juga. Sibuk mempertanyakan apakah gerangan hakikat puisi? Kepentingan yang bagaimanakah yang tidak boleh menunggangi puisi? Jika kutulis puisi tentang negara yang karut-marut, apakah puisiku ditunggangi politik? Jika kupuisikan dua bocah pengamen di lampu merah, apakah puisiku ditunggangi LSM? Jika kupuisikan hutan yang terbakar dan asap yang membunuh, apakah puisiku ditunggangi kepentingan sok peduli? Jika kupuisikan tentang maling sendal yang dipukuli massa hingga mampus, apakah puisiku ditunggangi hukum (yang timpang)? Jika kupuisikan para koruptor yang melenggang di panggung negeri, apakah puisiku ditunggangi korupsi?
Ketika ada yang berkata "Puisimu tanpa daya. Tetaplah maling merajalela. Tetaplah hukum makin timpang. Tetaplah koruptor tak dihukum mati. Puisimu tak bisa menangkap mereka yang zalim.", aku kini tak ingin diam. Aku mengerti apa hakikat puisi. Puisi adalah membaca. Ketika kulihat ketidakadilan, aku sedang membaca keadilan mesti diperjuangkan. Ketika kulihat kemiskinan, aku sedang membaca kedua tanganku yang masih kuat untuk berjuang. Ketika kudengar hutan terbakar, hewan-hewan terpanggang, aku sedang membaca hijau dedaunan. Lalu, kutulis puisi sebagai mantra, sebagai senjata, sebagai LAWAN!
Jangan takut memuisikan apa yang kaulihat, yang kaudengar, yang kaupikir, yang kaurasa....
Jogja, 160915
Terkadang kita perlu memojokkan diri untuk lebih banyak mendengar, lalu menuliskan apa yang kita ketahui.
Rabu, 16 September 2015
Minggu, 06 September 2015
Naik Angkutan Umum, Siapa Takut?
Hidup simpel, praktis, atau
serbagampang, bukanlah soal pilihan lagi zaman sekarang ini. Pandangan seperti
itu sepertinya sudah mendarah daging di masyarakat. Mau masak, tidak perlu
ribet cari kayu. Tinggal colokin kabel listrik atau beli makanan di warteg,
bahkan bisa delivery. Mau mencuci, tidak perlu lagi mengucek pakai tangan,
berjongkok-jongkok ria, berpanas-panas ria. Tinggal masukin ke mesin cuci, terus
ditinggal sambil main FB atau nonton TV. Mau beli baju, ah, gampang banget.
Tinggal searching di toko online, order, lalu transfer via banking mobile.
Semua seakan sudah menjadi tuntutan, mau tidak mau, ya, begitu. Kalau tidak,
hidup jadi tertinggal jauh.
Namun..., tak semua hal kita pandang
sesimpel membalikkan kedua telapak tangan. Ada proses yang harus kita pahami.
Sangat boleh kita memakai peralatan serbacanggih, tapi kita harus paham alat
secanggih apa pun melalui proses sehingga menjadi secanggih itu. Kadang,
sebagai orang tua, kita melupakan sebuah proses.
Hal yang simpel adalah masalah
transportasi. Tentu tidak terbayang jika kita kembali ke zaman baheula, naik
gerobak atau rakit ke mana-mana. Orang sudah sampai ke Antartika, kita masih
berkutat di rumah mertua. Idih, kayak udah punya mertua aja. Hussst! Atau,
misal kita masih saja memakai jasa merpati buat mengirim surat. Benar-benar
tidak terbayang olehku, Kanda. Lalala....
Tadi aku bicara soal proses, oke
kembali ke topik. Motor sudah menjamur. Mobil apalagi, seperti taburan meses di
donat. Mau ke mana saja, orang tinggal starter kendaraan, lalu druuum!
Berangkat, deh. Angkutan umum bagaimana nasibnya? Ini dia masalah di kotaku,
Banjarmasin. Angkutan umum bukanlah alternatif ataupun solusi untuk mempermudah
mobilitas. Masyarakat lebih memilih naik motor/mobil pribadi daripada naik
angkutan umum.
Apa, sih, musababnya? Oke, kita tilik
satu per satu. Pertama, Banjarmasin dan sekitarnya belum menjadi kawasan macet
seperti halnya Jakarta atau Surabaya. Jadi, orang berpikir buang-buang waktu
saja bila naik angkutan umum. Kedua, ada gengsi di diri sebagian masyarakat. Gengsi
naik angkutan umum. “Kenapa, sih, naik angkutan mulu? Nggak capek? Nggak malu
nunggu di pinggir jalan?” So what gitu, lho??? Ada apa dengan cintakuuu, eh,
angkutan? Begitulah pertanyaan beberapa orang kepadaku. Ketiga... ah, cukup dua dulu, ya.
Sebab itulah, aku mengajak
keponakanku naik angkutan umum. Biar mereka merasakan bagaimana sensasinya naik
angkutan umum. Biar mereka tahu bagaimana nasib sopir-sopir itu, yang pernah
beberapa kali dari Landasan Ulin ke Banjarmasin, cuma mengangkut satu
penumpang---aku. Biar mereka merasakan sebuah proses, di balik
kemudahan-kemudahan, ada yang harus rela tidak diacuhkan.
Wah, ternyata kedua keponakanku, Fuza
dan Shafa, enjoy banget diajak naik angkutan umum. Mereka bernyanyi, bercanda,
dan berpose tanpa beban. Saat itu kali pertama aku mengajak keduanya.
Sebelumnya hanya dengan Fuza. Sebenarnya tidak mau mengajak mereka berdua
karena aku tidak berani menyeberang jalan. Mataku ada sedikit kelainan dalam
hal seberang-menyeberang. Kecuali menyeberang ke hatimu. Huhuhu.... Jadinya,
siang itu kami bertiga diantar Kakak dulu ke seberang jalan, tempat aku
biasanya menunggu angkutan.
“Nak, entah bagaimana perkembangan teknologi
dan transportasi ketika kalian dewasa? Mungkin angkutan umum ini akan berubah
menjadi roket. Dalam sekali kedipan, akan langsung sampai di depan rumah Nini.”
Hatiku mulai beceloteh aneh ketika memandang keriangan mereka. Fuza dan Shafa
tak peduli dengan dua penumpang lainnya. Mereka terus bernyanyi dengan bahagia.
Sebagai penutup untuk Anda pengguna
kendaraan pribadi. Sesekali biarkanlah motor atau mobil pribadi Anda istirahat
di garasi. Ajaklah keluarga Anda naik angkutan umum, naik kereta, dan lainnya.
Jika kita tidak mampu membantu para sopir secara materi langsung, paling tidak,
dengan menjadi penumpang, Anda membantu kelangsungan hidup mereka dalam sehari.
Naik angkutan umum, siapa takut?
Jogja, 060915
Langganan:
Postingan (Atom)