Selasa, 04 Agustus 2015

Loksado: Ziarah Alam


Lanting atau rakit bambu di bawah jembatan Lumpangi.


Mobil yang kami carter telah menunggu di depan gang. Aku, Abang dan istrinya, Abah, Mamak, serta dua adikku segera memasuki mobil. Aku lagi mudik Lebaran. Adikku juga pulkam setelah setahun tinggal di Singkawang. Abang pun berinisiatif mengajak kami jalan-jalan ke Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Orangtuaku asli Hulu Sungai Selatan (Kandangan). Sejak tahun 1972, mereka merantau ke Banjarmasin. Aku dan ketujuh saudaraku lahir (kecuali anak pertama dan kedua) dan besar di Banjarmasin. Kami sering mudik ke Kandangan meski Kai dan Nini (kakek nenek) sudah meninggal dunia. Abang beristrikan orang Kandangan, jadi kami selalu menginap di rumahnya setiap mudik. Selain itu, saudara Mamak dan Abah masih banyak yang tinggal di kampung.

Loksado adalah sebuah kecamatan yang mempunyai banyak objek wisata sangat terkenal di Kalimantan Selatan. Di sana, masih tinggal warga asli Dayak Bukit. Hutan masih tampak perawan dan hijau. Berbagai tempat wisata sering dikunjungi pelancong lokal maupun luar negeri. Loksado terkenal dengan arung jeram lanting. Sayangnya, karena hari telah sore, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke wisata arung jeram lanting dan lainnya. Perjalanan pun berakhir di pemandian air panas Tanuhi.


Salat Zuhur di Masjid Al-Mutazakkirin, Padang Batung

Sungai di samping masjid.
Tak lupa makan siang menu khas Banjar: Pais patin (pepes patin) dan terung babanam (terung bakar) dengan kuah santan.

Kecewa? Tentu saja tidak. Sepanjang jalan kami masih bisa memandangi Sungai Loksado yang mengalir jernih. Jalanan yang menanjak dan berliku, tak mengurangi indahnya pemandangan. Mengunjungi Kalimantan Selatan, tidak afdol rasanya tidak berziarah ke makam pedatuan. Pedatuan adalah istilah nenek moyang (leluhur) secara umum, dan ulama zaman dulu secara khusus, di Kalsel. Makam para datu tersebar di seluruh kabupaten Kalsel. Kami singgah di Makam Habib Lumpangi.

Mamak bercerita, pada awal tahun 90-an, Abah dan beberapa temannya mengecek area makam ini. Yang dicek adalah apakah benar makam habib yang mengembangkan ajaran Islam di daerah itu. Oleh pemerintah setempat, area makam ini dijadikan cagar budaya dan bisa dikunjungi untuk umum. Menuju area makam, kami melewati jembatan gantung (tentunya bergoyang) di atas Sungai Loksado. Amazing! Aku dagdigdug ketika melewatinya. Sudah lama tidak melewati jembatan gantung. Sungai yang saat itu sedang surut dan jernih bangeeet dipenuhi anak-anak muda yang sedang rekreasi. Pulang dari makam, kami tidak bisa turun ke sungai karena hujan tiba-tiba turun.

Jembatan gantung menuju Makam Habib Lumpangi



Kami meneruskan perjalanan ke pemandian air panas Tanuhi. Pengunjungnya tidak terlalu ramai. Biasanya Tanuhi dipenuhi pengunjung saat tiga hari pertama Lebaran kemarin. Entahlah, aku malas sekali berendam seluruh badan. Agak risih karena dalam kolam ada beberapa cowok. Aku, kan, anak salehah. Pletak!

Wisma di Tanuhi.

Numpang narsis.

Duh, mesranya.... ^_^

Kedua adikku dan kakak ipar juga begitu. Aku hanya duduk di pinggir kolam dengan menjuntaikan kakiku dalam kolam. Hangaaattt.... Mamak, Abah, dan Abang tentulah antusias sekali berendam, bahkan berenang di kolam yang tidak terlalu besar itu. Ada beberapa kolam di sini, tapi hanya dua kolam yang berisi air panas. Satu kolam untuk dewasa, dan satu kolam lagi untuk anak-anak. Air di kolam untuk anak-anak tidak terlalu panas. Kira-kira sejam kami di Tanuhi. Kami pulang setelah minum teh hangat di warung depan pemandian.

Narsis lagi, dong...
Airnya jernih bangeeet!
Seperti yang aku bilang di atas, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan wisata karena waktu yang terbatas. Setelah ini, kami menuju Hamak, kampung kelahiran Abah. Hamak terletak di daerah pegunungan juga. Di sana masih tinggal Nini Gunung dan para sepupu. Nini Gunung (karena tinggal di gunung, jadi dipanggil Nini Gunung) ialah saudara perempuan Kakek alias acil (bibi) Abah. Biasanya, kami pergi ke Hamak lewat Telaga Langsat, tapi kali ini kami melewati jalan lain yang lebih dekat. Ternyata jembatan menuju rumah Nini sedang perbaikan dan hanya bisa dilewati motor. Apalah daya, terpaksa kami singgah di warung Kak Sanah, sepupuku, masih di kawasan Hamak. Mau tidak mau, menuju Angkinang (kampung kelahiran Mamak sekaligus tempat tinggal Abang), kami harus melewati Kota Kandangan.

Liburan yang belum tuntas sebenarnya. Belum sempat keliling Loksado, belum sempat merasakan naik lanting, belum sempat ke air terjun Haratai, belum sempat.... Ah, tunggu aku di liburan berikutnya, Loksado....


Jogja, 050815



4 komentar:

  1. Ini kupahami sebagai panggilan untuk ke Loksado. Ohhhhh culik aku dong.

    BalasHapus
  2. Kakek dan nenek yang teramat romantis. Duh, ngiri banget akuuu... :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. mamak n abah emang romantis. kalah anaknya, mas irham. gubrak! :v

      Hapus