Sabtu, 23 Mei 2015

Kuliner Nusantara di Festival Jajanan Bango 2015 Yogyakarta


MINGGU 17 Mei 2015, Stadion Mandala Krida Yogyakarta bernuansa hijau. Perpolitikan masakan sedang berlangsung panas (halah!). Daripada pusing memikirkan cuaca politik negara ini, mending memanjakan perut yang sedari pagi sengaja tidak diisi. Bango, kecap andalan keluargaku, benar-benar memanjakan lidah para pengunjung. Berbagai makanan dari Sabang sampai Merauke disajikan gratis, tapi bayar. :v

Menu makanan dari camilan seperti getuk goreng hingga berbagai makanan berat tersedia lengkap. Heran, pembukaan aja belum, tapi pengunjung sudah membeludak memenuhi meja makan yang disediakan. Karena memang sedang lapar, aku berencana memakan makanan berat dulu. Bebek kaleyo menyambut kedatanganku. Aku pencinta bebek. Tapi, aku perlu taktik biar bisa menyantap makanan lain. Menyantap bebek porsi jumbo itu bisa-bisa perutku bakal kekenyangan. So, dadah, bebek! Hiks....
Aku melihat berbagai menu masakan di sebelah kiri pintu masuk (sebagai pendatang dari Banjarmasin, aku buta arah mata angin). Stan pempek berbagai merek, sate padang, dan lain-lain deh, diserbu pembeli. Hadeeeh..., meja penuh! Baru jam setengah sepuluh. Sudah lama aku nggak makan empek-empek, jadi aku ikut antrean pembeli. Ternyata, saudara, empek-empeknya habis. Tersisa cuma tekwan. Tengok stan sebelah, antreannya nau'udzubillah. Okelah, tekwan juga boleh. Sama-sama enak dan maknyus ala Pak Bondan.
Seporsi tekwan seharga 10 ribu rupiah. Cukup mengisi perut yang kosong. Cukup? Aih, entahlah kenapa perutku hari itu lain dari biasanya. Penginnya diisi lagi dan lagi. :D Mulailah bergerilya kembali. Nggak ketinggalan kamera handphone jepret sana jepret sini. Sssttt..., sebenarnya lebih banyak beraksi jepret-jepret daripada makan. Dua rius!
Tekwan
Dari kejauhan, aku melihat stan R.M. Kaganangan. Pasti ini yang jual orang Banjar. Nggak salah lagi, deh! Tapi, betapa hatiku begitu pilu, yang dijual cuma soto banjar (soban). :( Padahal, tadi ngebayanginnya ketupat kandangan atau nasi kuning sambal habang tersaji di sana. Maaf, soban, aku nggak bisa maksain diri buat suka sama kamu. Sekali lagi maaf.
"Pak, kenapa cuma jual soto banjar?" tanyaku sama penjualnya.
"Bolehnya satu menu aja," jawab bapak itu.
Soto Banjar
Aku kembali menyusuri jalanan yang penuh kampanye aroma. Abaikan abaikan! Pilihlah caleg yang benar-benar tulus dan nggak bikin kantong terkuras. Ups! Bicara apa aku ini. Gini, lho, saudara, taktikku cuma nyari makanan yang harganya sepuluh ribuan dan belum pernah aku makan. Kasihan, ya....
Sampai di ujung barisan stan, aku mencium aroma kurang nyaman. Tutup hidung, lanjut jalan! Gila, benar-benar raja buah itu durian. Bejubel pembelinya di stan es krim durian! Sama sekali aku nggak tertarik. Aku mah udah punya kebun durian sendiri (katanya) dan udah bosan. Aku mah gini orangnya. -_-
Makanan bali, nasi kuning ternate, lontong... ah, udah pernah kumakan. Nah, ini nemu yang sepuluh ribu dan belum pernah kumakan. Iwak pari penyet! Menunya mah biasa aja, tapi pedas dan rasanya luar biasa! Tekstur daging parinya dicampur dengan sambel penyet dengan aroma jeruk dan kemangi benar-benar bikin berdesis-desis dan kipas-kipas lebay. Untunglah, di sebelah meja ada air putih dan es yang disediain gratis.
Iwak pari


Kembali bergerilya sembari komat-kamit membaca ajian tolak makan. Perut udah full! Tapi, mata jelalatan aja pengin ini, pengin itu. Hadeeehhh.... Makan tanpa camilan, nggak sah, dong. Akhirnya aku beli sebungkus getuk goreng seharga sepuluh ribu. Ada testernya, lho. Aku coba satu, wih enak! Coba aja bisa coba satu piring itu. Maruuukkk! :v 
      Sambil jalan, aku melewati sebuah stan dessert. Rencana mau beli sebagai penutup yang menyegarkan. Apa yang terjadi? Sold out, saudara-saudara! Padahal, baru jam sepuluh lewat.

"Nunggu dikirim, Mbak," ucap penjaga stan.
"Emang di mana kafenya, Mbak?" tanyaku.
"Di Jalan Monjali. Bla bla bla...." Dia menjelaskan info berbagai menu pilihan di kafenya.
Sip! Semua udah beres. Perut kenyang, mata pun kenyang. Saatnya pulang. Di stan paling depan, ramai terdengar suara MC memandu acara pembukaan kuliner Bango tahun ini. Gila, ya, pembukaan belum kelar, aku udah kenyang. Eh, bukan aku aja, lho. Bejibun tuh! #tunjuk kerumunan.
Di depan stan Kampung Bango, sebuah stan yang berisi bahan-bahan pembuatan kecap Bango dan simulasi cara pembuatannya, aku berdiri melihat MC berbincang dengan Nuning Wahyuningsih, Senior Brand Manager Kecap Bango produksi PT Unilever Indonesia Tbk. Dia menjelaskan tentang kedelai hitam malika. Bagi yang pernah lihat iklan kecap Bango, pasti tahu. Kedelai hitam malika adalah kedelai hitam bahan baku asli pembuatan kecap Bango. Kedelai ini kedelai varietas unggul yang ternyata hasil rekayasa pakar pertanian Universitas Gajah Mada pada tahun 2002. Kedelai ini banyak ditanam para petani Yogyakarta. Jadi, bahan baku kecap Bango benar-benar produksi negeri sendiri, bukan impor! Mantap!
"Ayo, para media bisa maju. Foto aja lebih dekat," kata MC.
Di sampingku, berdiri para insan media dari berbagai kalangan. Mereka berkalungkan surban, eh, tanda pengenal media. Aku pasang tampang cuek dan sok ikut jepret-jepret di dalam stannya. Aku, kan, orang media juga, media Facebook. :v
MC mengajak ke stan sebelah. Ada meja besar dan dipenuhi berbagai menu makanan. Pertama masuk tadi sudah sempat lihat, sih. Nah, aku baru ngeh kalau makanan-makanan itu cuma replika makanan se-Nusantara yang terbuat dari lilin. Di samping meja replika makanan-makanan itu, dipajang beberapa buku "langka" tentang kuliner.



Bahan pembuatan kecap bango: kedelai hitam malika, aren, air, dll....

Kedelai hitam malika
Replika masakan Nusantara


           Akhirnya kelar perbincangan MC dengan Mbak Nuning Wahyuningsih. Aku lihat pengunjung semakin bejibun. Aku memilih langsung pulang dan menuju halte trans Jogja di depan stadion.
Penutup: es oyen.
Karena aku orang baru di kota pendidikan ini, aku belum hafal jalan dan masih bingung. Seharusnya belok kiri menuju halte, aku malah belok kanan. Aku pikir haltenya jauh dari halte aku datang tadi. Ternyata berseberangan. Itu pun setelah nanya ke penjual es oyen. Sssttt..., aku beli semangkuk es oyen, lho.  Lima ribu doang. Benar-benar, deh, perut karet!
Semoga nggak ketiduran di bus. Hohoho....

Salam kuliner! 


Jogja, 220515





Rabu, 13 Mei 2015

Radio, I Love You!

Aku mengenal radio sejak sekolah dasar. Kira-kira sejak tahun 1996 (kelas 4 SD). Waktu itu zamannya request lagu lewat kertas request dan telepon koin. Tahu telepon koin? Kalau tidak tahu, berarti kau tak bisa menyaingi kejadulanku. Pletak! Padahal, telepon umum lumayan jauh dari rumah. Aku dan tetanggaku yang usianya tiga tahun di atasku, mesti jalan kaki sejauh dua kilometer. Lagu yang aku request dari berbagai genre, dari rock metal, melayu, sampai pop. Beda dengan temanku yang setia banget dengan genre "Gerimis Mengundang". :v

Tape Abang di rumah rusak. Aku pun sering nebeng mendengarkan radio di rumah temanku itu. Kemudian, aku bela-belain menabung buat beli walkman. Tidak tahu walkman? Ah, sekali lagi kau tidak tahu, kau benar-benar generasi teranyar (eufemisme aku generasi tua. -_-). Saat kelas 2 tsanawiyah (setingkat SMP) aku berhasil membeli walkman merek... ah, aku lupa mereknya. Paling ingat warnanya saja, yakni biru tua. Kenapa aku ngotot banget beli walkman? Itu karena aku tidak bisa membeli a man. Ah, ngacooo.... Oke, ini jawaban seriusnya. Di rumah tidak ada televisi. Abah pernah bilang dia tidak suka televisi. Dia sengaja tidak beli televisi supaya tidak ganggu belajar. Jadilah saat sekolah dasar hingga tsanawiyah, aku sering nebeng nonton televisi di rumah tetangga. Kasihan kasihan kasihan.... Eh eh, tapi bagus juga, sih, aku selalu juara pertama sejak SD (Akhirnya ada juga yang dibanggain. Aku mah begitu orangnya).

Beginilah penampakan walkman. Tapi, walkman-ku dulu mah merek abal-abal. Murah meriah. ^_^
(sumber gambar: http://krenmaut.blogspot.com/2010/10/walkman-disahkan-mati-pada-umur-31.html)

Setelah sekolah aliyah (setingkat SMA), aku tidak pernah nebeng lagi. Bukan karena di rumah sudah ada televisi. Sama sekali bukan. Tapi, karena aku tinggal sama Kakak. Di rumah Kakak ada televisi. Televisi baru menghiasi rumahku (rumah ortu, woi!) setelah aku kuliah di Pulau Jawa. Pas kuliah itulah aku baru tahu Abah cuma cari alasan waktu bilang televisi akan mengganggu belajar anak-anaknya. Alasan yang tepat adalah dia tidak punya uang untuk membeli televisi. Kalaupun ada, uangnya selalu terpakai buat mencukupi biaya hidup sehari-hari, termasuk membiayai sekolah anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Hiks, maafkan anakmu, Abah.... :(

Kembali ke topik postingan. Meski berbagai jenis hiburan sekarang serbaada dan serbacanggih, kebiasaanku mendengarkan radio tidak pernah berubah. Televisi mah kalah. Game online apalagi. Aku tidak hobi nge-game. Kalau dulu zaman sekolah aku cuma kenal request lagu, beranjak dewasa dan tetap langsing (aih!), aku mulai mengenal diskusi via radio, mendengarkan berita, dan sebagainya. Apalagi setelah komunikasi kian canggih karena adanya short message service alias SMS, semua menjadi serbamudah. Tidak perlu lagi jalan kaki sejauh dua kilometer, bukan? :v

Seperti saat ini. Saat aku mulai menjadi seorang karyawan (cieee...), radio tetaplah hiburan pertamaku. Tak peduli orang bilang game online paling asyik, nonton film paling menarik, atau stalking mantan paling bikin mewek (eh!), radio mah tetap bikin aku goyang-goyang badan dan tambah ilmu, pastinya.

Jogja, 130515