Jumat, 20 Juni 2014

Rahasia Sita

SITA sejenak teringat wajah sang ibu. Wajah itu selalu menghantui mimpi-mimpinya selama lima tahun ini. Menurut beberapa temannya, hal itu karena Sita tidak pernah mengunjungi makam ibunya. Semenjak kematian sang ibu, Sita tak pernah mengunjunginya. Bahkan, berdoa pun mungkin tak pernah. Namun, Sita tidak pernah menganggapnya sebagai masalah.
"Sebaiknya kamu tengoklah makam ibumu, Nak. Seorang anak mesti memuliakan ibunya," ucap ayah Sita.
Rumah sudah sepi benar. Hanya terdengar suara cecak dan jangkrik di samping rumah. Sita terdiam sembari memindah channel televisi. Selalu saja dia tidak menanggapi jika obrolan berkaitan dengan ibunya.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya ayahnya lagi. Dia sadar anak satu-satunya ini tidak mungkin meladeni ucapannya tadi.
"Lancar, Yah."
"Syukurlah."
Ayah Sita masuk ke kamar. Dipandanginya foto mendiang istrinya di meja kerjanya. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi bicara dengan Sita. Sikap keras kepalanya persis kamu, Ning. Andai saja.... Ah, aku harus terus terang."
Sita masih duduk di depan televisi. Matanya menerawang ke langit-langit. Masih dia ingat episode-episode masa kecilnya.
***
"Kamu ini kerjaannya main saja!"
Gagang sapu mendarat di kaki Sita. Sita menangis sesenggukan. Kakinya lebam. Dia tak pernah membantah kata-kata ibunya. Diam. Ya, hanya diam yang dilakukannya.
"Kamu ini bodoh! Nilaimu rendah terus! Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Ibunya tidak pernah menyebut namanya. Sita merasa sang ibu adalah sosok asing. Mungkin monster yang dikirim alien. Sita hobi menggambar. Namun, buku gambarnya penuh gambar monster bertanduk lima dan bertaring panjang. Begitulah dia menggambarkan sosok sang ibu.
"Aku menyesal mempertahankanmu hidup!" pekik ibunya.
Aku juga menyesal tidak bisa membunuhmu, Ibu, bisik hati Sita. Rasa benci dan sakit hati menguasai hati Sita.
***
"Aku tidak pernah bisa memaafkanmu, Bu." Air mata Sita mengalir. Air mata penuh kebencian pada sang ibu. "Aku tidak pernah menyesal telah meracunimu."
Layar televisi masih menyala. Sita tak jua beranjak dari duduknya. Tak ada yang tahu Sita-lah pembunuh ibunya, kecuali sang ayahayah tiri yang baik hati menganggapnya seperti anak kandung sendiri.
Sita tak menyadari ayahnya duduk di sampingnya. "Ayah mau bicara, Sita...."
"Ada apa, Yah?" Disapunya air matanya perlahan.
"Terlalu lama Ayah menyimpan rahasia ini. Kamu mesti tahu hal sebenarnya." Ayah Sita terdiam.
"Rahasia? Apa yang belum kuketahui, Yah?" Raut muka Sita mengeras.
"Sebenarnya ibumu sangat mencintaimu. Hanya saja..."
"Ayah bicara apa? Mencintai? Mencintai dengan pukulan bertubi-tubi?" Sita berteriak sangat keras.
"Selesaikan Ayah bicara dulu, Sita!" Kali ini ayahnya menatap mata Sita tajam. "Ibumu meninggal bukan karena racunmu, tapi karena penyakitnya," lanjutnya.
"Apa???" Sita berdiri dengan gusar. Telapak tangannya mengepal. Keyakinannya bahwa dendamnya sudah lunas, kini mulai goyah.
"Duduklah, Nak...." Ayah menarik tangannya. "Ibumu menderita AIDS. Kamu tidak pernah tahu, bukan? Dia bersikap kasar hanya untuk menutupi rasa sakitnya darimu. Dia hanya tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya padamu, Nak."
Diam. Ya, hanya diam mampu dilakukan Sita sekarang. Entah kebencian ataukah penyesalan yang dia rasakan.

Bjm, 190614