Kamis, 27 Juni 2013

Padang Kota Tercinta


PIRING-piring lekati telapak tangan. Gerak rancak penari iringi alunan musik telempong dan saluang. Elok dan elegan. Pertunjukan tari piring di stasiun televisi nasional itu mengembalikan kenangan. Raina tersenyum dan selaksa kisah menari-nari dalam kerinduan.

Sebenarnya tak ada darah Padang yang mengalir di tubuh Raina. Semarang adalah kota kelahiran. Sebab tugas Ayah, Raina yang saat itu berumur tiga tahun diboyong ke sana. Namun, bagi Raina, Padang adalah tanah jiwa. Di kota Gadang dia merasakan keceriaan masa kecil hingga remaja. Kalau ada yang bertanya, pilih Padang apa Semarang? Jawabnya lantang, Padang kota tercinta.

Suara ingar adik-adik yang bermain di beranda rumah diacuhkannya. Mata Raina terus saja mengiringi gerak penari. Setoples kacang goreng dan teh hangat menemani. Ketika anak gadis lain asyik menonton acara musik di televisi swasta, Raina malah semakin pukau oleh salah satu budaya Nusantara itu.

“Na, beneran kamu mau ke Padang liburan nanti?” tanya Lisa, sahabatnya.

“Semoga lain kali kita bisa liburan sama-sama. Aku ingin mengenalkanmu dengan ranah Minang yang permai. Melihat jam Gadang. Melintasi Jembatan Siti Nurbaya. Duh, nggak sabar....”
                                                         ***

Ya, Tuhan, Padang masih saja elok seperti dulu, benak Raina. Matanya tak berkedip memandangi Jam Gadang. Dia teringat sanggar tari tempat dulu berlatih menari piring. Raina langsung menelusuri jalan menuju sanggar. Tampak anak-anak lincah menari. Bayangan dirinya beberapa tahun lalu tegambar jelas. Sepulang sekolah langsung menuju sanggar. Tanpa pernah lelah dan bosan. Tak sadar, Raina mengikuti gerakan anak-anak itu. Dua buah piring di tangan dan alunan musik yang menawan. Gerakan tubuh Raina semakin rancak dan memikat.

“Raina, oooiii! Kenapa kamu senyum-senyum sambil goyang tangan begitu?” sentak Lisa.

“Kamu nyusul aku ke Padang?!! Sama siapa?”

“Mimpi, ya?” Lisa tertawa. Raina bengong. Televisi masih menyala menayangkan tarian daerah lainnya. Chanel yang sama dengan tayangan acara tari piring sebelumnya.

“Padang kota tercinta,” katanya tersenyum malu. 

Bjm, 310513

Tentang Sebuah Pesan

Tentang Sebuah Pesan

"asmkm mbk mw bli nvel sy g"

           Pesan itu saya terima dari orang baru di ranah facebook. Pesan pertama dan tidak pernah terlibat dalam obrolan di status. Apa maksud dari pesan di atas? Daripada bingung saya cuekin saja. Tidak saya balas, meskipun beberapa hari kemudian baru saya paham maksudnya. Alasan yang paling mendasar adalah pesan itu tanpa ramah-tamah pembuka obrolan.
           Apa perlu pesan itu saya balas seperti memberi mata kuliah kebahasaan sehingga pesannya "dapat dimengerti oleh semua kalangan"? Hahaha.... Saya pikir tidak perlu. Buat apa-apa capek-capek, wong dia seorang penulis yang sudah menerbitkan sebuah buku tunggal. Lho?! Ya, benar! Menurut saya penulis itu semestinya menghargai bahasa. Menghargai "profesinya sebagai penulis". Bagaimana karya dia diterima penikmat karya bila menawarkan buku saja tak kenal cara berbahasa yang baik.
           Duhai..., berbahasa memang sebuah kebebasan. Namun, lewat cara kita berbahasa orang dapat menilai bagaimana "attitude" kita sebagai penulis. Pemahaman saya, gaya pesan kita tergantung penerima. Kalau kita mengirim pesan pertama kali ke seseorang, harus pakai perkenalan dulu. Karena kita belum mengenal si penerima, cara menulis pesan pun jangan disingkat-singkat "akut" seperti pesan di atas, dsb....

#Sekian.
#Nokturnokelaparan. ^_^

Bjm, 260613

Selasa, 21 Mei 2013

Kata-Kata (Sok) Bijak Tentang Kepercayaan


Tak tahu kenapa jadi pengen berkata-kata (sok) bijak. Wong edan tambah edan atau lagi kesambet setan jembatan Barito...? Hahaha.... Nyungsep! ^_^
 
~Begitu mahal dan antiknya sebuah kepercayaan. Ketika itu sudah terjual, sulitnya cara untuk membeli lagi.

~Jagalah sebuah kepercayaan seperti menjaga keseimbangan tapak di tebing jurang.

~Janji itu ibarat pembuluh di titik paling nadi. Apabila putus ia, remuklah sekujur kepercayaan hati.

Bjm, 210513

Senin, 20 Mei 2013

Imaji Si Pencandu Kopi


KOPI hitam kental sedikit gula. Selalu kunikmati menemani hari-hari setengah gila. Kopi, bagiku bukan tameng penghalau kantuk. Melainkan, sahabat sejati di kala imaji kian terkutuk. Pahitnya menguatkan luka, manisnya meredupkan lara.

          Setelah lima tahun berlalu, aroma kopi bebal kuhidu, dan laguku masih pilu. Opini setengah gila meragu. Secangkir kopi di tangan, bertanya aku pada malam yang kian kelam. Benarkah hanya dengan kopi ini imaji terkutuk menemu tuahnya? Bukankah kecamuk rasa pada akhirnya menjadi ampas. Pahit dan manis lenyap tak berbekas. Menumpuk tanpa curahan mata air kesejukan nurani. Jika pun hilang ketika cangkir dicuci, besok si ampas kembali lagi. Bahkan mungkin dengan volume yang lekat hampa tak berarti.

          Kopiku bukan candu, bukan pula kafein empedu. Hatikulah yang membuat langkahku membenalu, menggurita di ranah rancu. Dia tetaplah salah satu sahabat paling rindu. Sejak cercah pelita tersibak di sudut laku, kusemai benih-benih syahdu di ranah imaji yang biru. Opiniku kembali menyiar, melenyapkan jelaga, menjemput suarga tanpa bisu.
          Kopi hitam kental sedikit gula: imaji terkutuk menemu tuahnya. Semoga....

Bjm, 2013

Tentang Kaca yang Telaga dalam Detik-Detak

 Empat status facebook bertanggal 18 Mei 2013, kukelindankan (maksa banget, ya!) menjadi satu puisi. Diposting di grup kepenulisan PEDAS-Penulis dan Sastra pada tanggal 19 Mei 2013. Bingung mau posting apa. Hahaha.... Gubrak! :D
Tentang Kaca yang Telaga dalam Detik-Detak

(1)
hening adalah kala yang kaca
dan aku tak bisa lepas darinya
hening
bening

(2)
Bertanya tanah pada matahari, "bilakah kala yang paling kaca?"
"adalah bila cahayaku lekat di lanskap paling telaga"

(3)
detik ini detak yang rancak
detik ini ruap yang kalap
detik ini silau yang ngiau
detik ini setitik rintik
merah dan madah

(4)
Biar detak tinggal detik
Dan detik tak lagi detak
PAda!
Remuk dekap lantak...

Bjm, 180513